Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sering Dianggap Memberatkan, Sejak Kapan Biaya Acara Pernikahan Mahal?

KOMPAS.com - Banyak orang di Indonesia menganggap biaya yang dibutuhkan untuk menggelar acara pernikahan, baik akad maupun resepsi, cukup mahal dan memberatkan.

Tak sedikit orang yang memilih menunda bahkan membatalkan pernikahannya dengan alasan tidak memiliki biaya untuk mengadakan pesta pernikahan.

Meski hal ini tidak berlaku bagi semua orang, namun pesta pernikahan yang mewah telah menjadi semacam budaya yang harus diikuti sebagian besar masyarakat Indonesia dengan berbagai alasannya masing-masing.

Sejak kapan biaya upacara pernikahan mahal?

Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com pada Senin (30/5/2022), tidak diketahui secara pasti sejak kapan biaya pernikahan menjadi mahal. Apalagi, upacara pernikahan di Indonesia seolah menjadi ajang lomba mengeluarkan uang paling banyak untuk menggelar pesta pernikahan.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia, Dr Irwan Hidayana.

“Saya pikir sih sebenarnya agak sulit juga menjawab ini, karena apa? Tidak ada spesifik yang jelas mengenai ini (biaya upacara pernikahan yang mahal),” kata Irwan kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2022).

Menurut Irwan, sebenarnya mungkin masih ada sedikit perbedaan perayaan pernikahan di desa dan kota.

"Untuk di desa, mungkin masih ada yang resepsi pernikahannya tidak mengharuskan diselenggarakan dengan biaya tinggi, tetapi tidak begitu di daerah perkotaan," ujar Irwan

Meski begitu, Irwan mengakui bahwa menggelar pesta pernikahan dengan banyak biaya bukan tidak mungkin ditemukan di daerah pedesaan.

Irwan menjelaskan, biaya tinggi untuk menggelar pernikahan mungkin terjadi sejak masyarakat Indonesia mengenal ekonomi pasar.

“Saya pikir mungkin ini terjadi (resepsi pernikahan mahal) ketika ekonomi pasar ya, ekonomi uang itu berkembang di masyarakat di seluruh dunia. Saya pikir itu yang mempengaruhi,” jelasnya.

Irwan melanjutkan, ekonomi pasar jelas berpengaruh besar terhadap upacara atau resepsi pernikahan banyak dinilai secara ekonomi dengan uang.

Sementara itu, berdasarkan budaya di Indonesia, Irwan menceritakan bahwa acara pernikahan menjadi ajang gotong royong antar tetangga di sekitarnya.

Para tetangga akan bergotong royong memberikan sumbangan atau bantuan berupa beras, lauk-pauk, bumbu-bumbu dapur untuk bisa dikonsumsi saat acara hajatan pernikahan dilakukan, menyumbang tenaga, hingga peralatan rumah tangga.

“Bentuknya (bantuan tetangga) ya tidak uang, tapi kemudian jadi beda ketika ada ekonomi pasar,” ujarnya.

Ekonomi pasar berpengaruh juga terhadap pola pikir kehidupan bertetangga atau bermasyarakat saat ini.

Banyak di antara masyarakat yang berpikir bahwa memberikan sumbangan berupa uang akan lebih efektif dan bermanfaat bagi pengantin, terutama untuk membeli kebutuhan rumah tangga nantinya.

Dengan begitu, keluarga pengantin yang akan menyelenggarakan resepsi pernikahan harus merogoh kocek lebih banyak lagi untuk menyiapkan sendiri segala keperluan pesta pernikahan.

Oleh karena itu, Irwan menduga, meskipun belum ada bukti yang cukup kuat, tetapi sejak diperkenalkannya mata uang, Indonesia sudah mulai beradaptasi dengan ekonomi pasar dan terjadi perubahan pola perayaan pernikahan yang menjadi mahal tersebut.

“Jadi besar kemungkinan, ini terjadi sejak pemerintah Belanda ya, kolonialisme itu kan memang membawa institusi ekonomi pasar,” tuturnya.

Meski diduga sejak zaman kolonialisme, Irwan menyatakan bahwa perubahan esensi biaya pernikahan yang mahal sebenarnya terjadi secara perlahan-lahan.

"Dahulu memang ada kalangan bangsawan di daerah-daerah yang menggelar acara pernikahan yang mewah atau mahal, tetapi masih berupa barang atau benda berharga, seperti gading gajah, tanduk rusa, ratusan atau ribuan kerbau, dan lain sebagainya," ungkapnya.

Irwan menekankan, meski ada pergeseran dalam pola pikir masyarakat terhadap perayaan resepsi pernikahan, sebaiknya jangan pernah memaksakan menggelar upacara pernikahan dengan biaya yang mahal, apalagi hingga berutang.

"Karena ada yang sebenarnya kurang mampu, lalu memaksakan diri membuat pernikahannya mewah, mahal, lalu harus berhutang gitu ya, nah itu saya pikir sesuatu yang tidak baik," ujar Irwan.

"Jadi ketika baru mulai menikah (pasangan tersebut) harus berutang, pasti ada ekspektasi nanti yang datang lalu menyumbang, dari sumbangan-sumbangan itu bisa tertutup (utang tadi), nyatanya tidak selalu begitu," imbuhnya.

(Penulis: Ellyvon Pranita | Editor: Bestari Kumala Dewi)

Sumber: KOMPAS.com

https://www.kompas.com/wiken/read/2022/06/05/213000581/sering-dianggap-memberatkan-sejak-kapan-biaya-acara-pernikahan-mahal-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke