Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Thailand Bangun Jalur Alternatif Selat Malaka, Ancam Jalur Perdagangan Tiga Negara

Kompas.com - 31/03/2024, 09:00 WIB
Diva Lufiana Putri,
Ahmad Naufal Dzulfaroh

Tim Redaksi

Ironisnya, setelah kudeta lain pada 2014, pihak militer menghidupkan kembali gagasan tersebut pada 2020.

Sayangnya, gagasan tersebut lagi-lagi gagal mendapat dukungan karena dislokasi ekonomi global yang disebabkan oleh pandemi ini.

Baca juga: Ratusan Kapal Terjebak Macet di Terusan Panama karena Kekeringan

Bawa keuntungan bagi perekonomian

Kini, pembangunan jembatan darat penghubung Samudera Hindia dan Pasifik dinilai memiliki sejumlah manfaat bagi Thailand.

Pertama, dengan tidak melewati Selat Malaka yang padat, perusahaan pelayaran menghemat waktu berlayar tiga hingga empat hari, sehingga mengurangi biaya transportasi sebesar 15 persen.

Kedua, pembangunan jembatan darat akan memberikan keuntungan sebesar 1,3 triliun baht atau sekitar Rp 568 triliun bagi perekonomian.

Langkah ini juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,5 persen dan menyediakan lapangan kerja bagi 280.000 orang.

Ketiga, jembatan darat turut menempatkan posisi Thailand di jantung rantai pasokan Asia Tenggara.

Baca juga: Berkaca dari Kasus Evergreen di Terusan Suez, Jepang Pertimbangkan 3 Opsi Rute Baru

Ancam jalur perdagangan negara lain

Terpisah, Rektor Malaysia University of Science and Technology, Premkumar Rajagopal mengungkapkan, jembatan yang diperkirakan akan selesai pada 2039 ini mempunyai implikasi potensial bagi perekonomian dan posisi strategis tiga negara lain di kawasan Selat Malaka.

"Setelah selesai dibangun, jembatan tersebut berpotensi mengalihkan pelayaran dari Malaysia dan Singapura karena bertujuan menciptakan jalur perdagangan baru yang menghubungkan Samudera Hindia dan Pasifik," ujarnya.

Pakar yang berpengalaman dalam rantai pasokan selama 13 tahun ini mengatakan, megaproyek senilai kurang lebih 1 triliun baht atau sekitar Rp 437 triliun tersebut juga diklaim akan mempersingkat waktu pengangkutan melalui Selat Malaka selama beberapa hari.

"Pengiriman dari pelabuhan Ranong ke India, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa mungkin memakan waktu tujuh hingga 30 hari," kata Premkumar.

"Perjalanan dari China Selatan ke Pelabuhan Ranong akan memakan waktu tidak lebih dari lima hari," sambungnya.

Baca juga: Proyek Ambisius Israel, Berencana Bangun Tandingan Terusan Suez yang Lewati Gaza

Di sisi lain, para kritikus jembatan darat berbondong mempertanyakan kelayakan ekonomi proyek tersebut.

Melewati Selat Malaka mungkin akan mengurangi waktu berlayar. Namun, menurunkan muatan barang di satu pelabuhan, mengangkutnya ke pelabuhan lain, kemudian memuatnya kembali bisa memakan waktu lama.

Imbasnya, perusahaan kapal mungkin justru akan mengalami peningkatan biaya transportasi.

Selain itu, jembatan darat pun berdampak negatif terhadap lingkungan serta merugikan industri pariwisata dan perikanan di Thailand selatan.

Belum lagi, jika menilik secara geopolitik, kepemilikan jembatan darat mungkin akan menyeret Thailand ke dalam pusaran persaingan Amerika Serikat-China, terutama jika Beijing mendanai pembangunannya.

Tidak terpengaruh oleh argumen-argumen tersebut, Srettha mengaku bertekad untuk menyelesaikan proyek tersebut, bahkan telah mengusulkan batas waktunya.

Baca juga: Kisah Kapal Selam Jerman yang Tenggelam gara-gara Kloset Rusak

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com