Nita dan teman-temannya diminta membayar Rp 150.000 untuk pendaftaran. Setelah itu mereka harus membayar lagi untuk biaya pembuatan paspor, izin kerja, dan keperluan visa.
Total biaya awal yang harus dibayarkan Nita dan rekan-rekannya adalah 550 euro (sekitar Rp9,4 juta) termasuk untuk urusan ZAV (kantor bursa pekerjaan spesialis Jerman) dan biaya ketibaan di Jerman.
Sayangnya, begitu sampai di Jerman, Nita dan teman-temannya kecewa karena haknya sebagai mahasiswa tidak terpenuhi.
Menurutnya, apa yang ia alami dan kerjakan di sana tidak sesuai dengan janji di awal dirinya mengikuti program magang di luar negeri.
Awalnya, Nita dan rekan-rekannya dijanjikan magang di Bandara Munich – tapi ternyata begitu sampai di Jerman, program magang di bandara itu tidak ada di daftar magang Ferienjob.
Mereka pun dipindahkan ke situs kerja lain – sebuah pabrik.
“Itu pun kami enggak langsung dikasih kerja. Kami harus menunggu dulu sekitar enam sampai tujuh hari,” ujarnya.
Nita mengaku beberapa rekannya diminta bekerja di bidang konstruksi, meski mereka perempuan.
Sebagian lain magang di jasa ekspedisi dan harus mengangkat barang-barang sebesar 30 kilogram.
Baca juga: Viral Akun Fahri Skroepp Pakai Identitas Anak, Bentuk Eksploitasi?
Bagi Nita, pengalamannya di Jerman itu tidak sepadan dengan raihan akademiknya begitu kembali ke Indonesia.
Sesampainya di Indonesia, dia dan teman-temannya ternyata masih harus ikut ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS) susulan.
“Aku enggak lulus dua mata kuliah. Jadi harus mengulang,” ujar dia.
Padahal, pihak kampus sebelumnya meminta Nita dan rekan-rekannya untuk cukup fokus berkegiatan di Jerman dan masalah konversi nilai bisa dibicarakan nanti.
“Kami mahasiswa sudah lelah mau tuntut ini-itu,” ujarnya.
Ambar dan Nita sama-sama enggan menyebut nama universitas ataupun nama kota di Jerman tempat mereka tinggal dan magang.
Menurut Ambar, tempat kota dirinya dan rekan-rekan magang sangat spesifik sehingga membuatnya akan mudah dilacak.
Baca juga: Kilas Balik WNI Korban TPPO di Myamar, Disekap di Daerah Konflik dan Berhasil Dibebaskan
Salah satu yang menjadi persoalan para korban mahasiswa ini adalah soal dana talangan.
Menurut Nita, dana talangan mencapai Rp 37 juta termasuk biaya awal dan tiket pulang-pergi. Dia mengatakan pemasukannya selama kerja di Jerman bahkan tidak bisa menutup biaya ini.
“Padahal sosialisasi dari pihak penyelenggara, gaji itu bisa menutup dana talangan. Saya pribadi dan teman-teman saya belum bayar [dana talangan] tapi pihak kampus menyuruh kami untuk segera membayar,” ujarnya.
Nita juga mengecek kabar dari rekan-rekannya di kampus lain, karena cerita mereka bervariasi.
“Aku enggak bakal nyebut kampus apa, tapi ada kampus yang bilang kalau mahasiswanya tidak membayar dana talang, mahasiswanya enggak boleh masuk kuliah," beber dia.
"Tapi ada juga kampus yang menahan mahasiswanya untuk jangan membayar sebelum kasus ini selesai,” ujarnya.