Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesaksian Korban Kasus Dugaan Perdagangan Orang Berkedok Kampus Merdeka di Jerman

Kompas.com - 23/03/2024, 19:30 WIB
Mahardini Nur Afifah,
BBC INDONESIA

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja dengan modus magang di Jerman (Ferienjob) lewat program berkedok Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). 

Kepada BBC News Indonesia, beberapa korban tersebut membagikan pengalamannya menjadi korban kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) oleh PT CVGEN dan PT SHB pada medio Oktober 2023 sampai Desember 2023. Berikut kisahnya.

Baca juga: 6 Fakta Panti Asuhan di Medan Diduga Eksploitasi Anak dengan Mengemis Online di TikTok

Masih lekat dalam ingatan Ambar (bukan nama sebenarnya), 21 tahun, salah satu mahasiswi perguruan tinggi di Sumatera, saat baru menginjakkan kaki di Jerman untuk ikut program magang.

Bayangan untuk mendapatkan pengalaman baru kerja sekaligus belajar seketika luntur ketika tiba-tiba saja pintu flat, tempat tinggal sementaranya, diketuk jelang tengah malam oleh seseorang yang tak ia kenal.

Tak hanya mengetuk pintu di waktu istirahat, tamu tak diundang itu juga menyodorkan kontrak kerja dalam bahasa asing, bukan bahasa Inggris, yang tidak Ambar kuasai.

Ambar yang baru diterima magang di luar negeri untuk kali pertama tersebut lalu diminta tanda tangan malam itu juga.

Esoknya, pada pukul 04.00 pagi, ia harus bangun demi mengejar bus perusahaan untuk bekerja di pabrik.

Baca juga: Fenomena Pelajar Turun ke Jalan, Melek Politik atau Eksploitasi Anak?

Pekerjaan ekstra berat dan tidak boleh cuti sakit

Ambar bercerita, ia tiba di salah satu kota di Jerman pada 2 Oktober 2023, saat tengah malam.

Setibanya di salah satu negara Eropa Barat itu, ia tak dapat sambutan hangat melainkan langsung ‘ditodong’ tanda tangan kontrak.

Kondisi baru sampai dan larut malam, membuat Ambar dan rekan-rekannya tidak bisa membaca kontrak dengan seksama.

“Kontrak terkadang hanya tersedia dalam Bahasa Jerman, dan kami tidak diberikan waktu untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia atau Inggris,” tuturnya kepada juranlis Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (22/3/3034).

Ambar menyebutkan, janji agensi untuk kesempatan “bekerja dan belajar” di Jerman nyatanya bohong.

Ia dan teman-temannya harus menjalani pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik yang cukup berat, seperti pekerjaan di bidang kontruksi atau ekspedisi.

“Jenis pekerjaannya pun sama sekali tidak linear dengan jurusan yang kami tempuh,” akunya.

Ambar mengatakan dirinya dan teman-temannya bekerja selama 10 jam tiap hari dan itu belum termasuk perjalanan mereka dari apartemen ke perusahaan yang memakan waktu dua jam bolak-balik.

“Jadi sehari kami bisa menghabiskan waktu 12 jam hanya untuk bekerja,” lanjut dia.

Pekerjaan fisik yang berat juga suhu musim dingin di Jerman membuat banyak dari teman-teman Ambar gampang sakit, tetapi beberapa dari mereka tidak diperbolehkan cuti saat sakit.

Apartemen – disebut wohnung – tempat Ambar tinggal selama di Jerman pun diisi oleh 20 orang yang dipatok dengan harga mahal dengan fasilitas yang tidak memadai.

Baca juga: PB Djarum Hentikan Audisi 2020, Apa yang Dimaksud Eksploitasi Anak?

Impian kerja sambil jalan-jalan di luar negeri kandas

Seperti Ambar, Nita juga bertandang ke salah satu kota di Jerman pada awal Oktober 2023 untuk mengikuti program Ferienjob.

Yang ada di benak mahasiswi asal Jawa ini, selain ikut program magang, dia juga bisa “jalan-jalan di luar negeri”.

“Waktu itu dipromosiin working and holiday [bekerja dan berlibur],” tuturnya 

Nita mengaku percaya kegiatan Ferienjob karena ada testimoni dari tahun-tahun sebelumnya.

Nita dan teman-temannya diminta membayar Rp 150.000 untuk pendaftaran. Setelah itu mereka harus membayar lagi untuk biaya pembuatan paspor, izin kerja, dan keperluan visa.

Total biaya awal yang harus dibayarkan Nita dan rekan-rekannya adalah 550 euro (sekitar Rp9,4 juta) termasuk untuk urusan ZAV (kantor bursa pekerjaan spesialis Jerman) dan biaya ketibaan di Jerman.

Sayangnya, begitu sampai di Jerman, Nita dan teman-temannya kecewa karena haknya sebagai mahasiswa tidak terpenuhi.

Menurutnya, apa yang ia alami dan kerjakan di sana tidak sesuai dengan janji di awal dirinya mengikuti program magang di luar negeri.

Awalnya, Nita dan rekan-rekannya dijanjikan magang di Bandara Munich – tapi ternyata begitu sampai di Jerman, program magang di bandara itu tidak ada di daftar magang Ferienjob.

Mereka pun dipindahkan ke situs kerja lain – sebuah pabrik.

“Itu pun kami enggak langsung dikasih kerja. Kami harus menunggu dulu sekitar enam sampai tujuh hari,” ujarnya.

Nita mengaku beberapa rekannya diminta bekerja di bidang konstruksi, meski mereka perempuan.

Sebagian lain magang di jasa ekspedisi dan harus mengangkat barang-barang sebesar 30 kilogram.

Baca juga: Viral Akun Fahri Skroepp Pakai Identitas Anak, Bentuk Eksploitasi?

Bagi Nita, pengalamannya di Jerman itu tidak sepadan dengan raihan akademiknya begitu kembali ke Indonesia.

Sesampainya di Indonesia, dia dan teman-temannya ternyata masih harus ikut ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS) susulan.

“Aku enggak lulus dua mata kuliah. Jadi harus mengulang,” ujar dia.

Padahal, pihak kampus sebelumnya meminta Nita dan rekan-rekannya untuk cukup fokus berkegiatan di Jerman dan masalah konversi nilai bisa dibicarakan nanti.

“Kami mahasiswa sudah lelah mau tuntut ini-itu,” ujarnya.

Ambar dan Nita sama-sama enggan menyebut nama universitas ataupun nama kota di Jerman tempat mereka tinggal dan magang.

Menurut Ambar, tempat kota dirinya dan rekan-rekan magang sangat spesifik sehingga membuatnya akan mudah dilacak.

Baca juga: Kilas Balik WNI Korban TPPO di Myamar, Disekap di Daerah Konflik dan Berhasil Dibebaskan

Dana talangan puluhan juta rupiah

Salah satu yang menjadi persoalan para korban mahasiswa ini adalah soal dana talangan.

Menurut Nita, dana talangan mencapai Rp 37 juta termasuk biaya awal dan tiket pulang-pergi. Dia mengatakan pemasukannya selama kerja di Jerman bahkan tidak bisa menutup biaya ini.

“Padahal sosialisasi dari pihak penyelenggara, gaji itu bisa menutup dana talangan. Saya pribadi dan teman-teman saya belum bayar [dana talangan] tapi pihak kampus menyuruh kami untuk segera membayar,” ujarnya.

Nita juga mengecek kabar dari rekan-rekannya di kampus lain, karena cerita mereka bervariasi.

“Aku enggak bakal nyebut kampus apa, tapi ada kampus yang bilang kalau mahasiswanya tidak membayar dana talang, mahasiswanya enggak boleh masuk kuliah," beber dia.

"Tapi ada juga kampus yang menahan mahasiswanya untuk jangan membayar sebelum kasus ini selesai,” ujarnya.

Sementara Ambar belakangan mengetahui gaji bersih yang diterimanya yakni sekitar 600-700 euro (sekitar Rp 11,9 juta) per bulan, jauh di bawah gaji kotornya yaitu 2.000 euro (sekitar Rp 34,2 juta).

Ambar mengatakan uangnya akan habis jika harus membayar dana talangan yakni Rp 24 juta.

“Saya pribadi masih simpan uangnya kalau-kalau nanti ditagih sama agen. Karena sampai saat ini pihak agensinya tidak kasih kejelasan info, bahkan ada yang tanya pun gak ada respon,” ujarnya.

Penjelasan Kemdikbudristek

Dihubungi terpisah, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Anang Ristanto, menegaskan bahwa Ferienjob bukan bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM.

“Kemendikbudristek mendukung penuh upaya penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polri dan mengimbau agar kampus yang mahasiswanya terlibat program ferienjob agar selalu melindungi mahasiswa dari tekanan dan jeratan utang akibat program tersebut,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Lebih lanjut, Anang menjelaskan bahwa sejak bulan Oktober 2023, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) sudah mengambil langkah dengan mengeluarkan surat edaran No. 1032/E.E2/DT.00.05/2023 kepada seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, untuk menghentikan keikutsertaan pada program tersebut.

Hal ini dikarenakan banyak ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak mahasiswa.

“Kami mengajak perguruan tinggi untuk berhati-hati dalam merancang program MBKM mandiri dan agar selalu memastikan kesesuaian program dengan Buku Panduan MBKM 2020,” tandas Anang.

Iming-iming TPPO menggiurkan

Aktivis Migrant Care Siti Badriyah menyebut eksploitasi magang kerja di Jerman berkedok Kampus Merdeka sebenarnya pola penipuan lama.

“Itu kasus polanya sudah lama, ya. Kalau dulu-dulu itu kan ke Jepang. Kemudian setelah itu Taiwan,” ujar Siti kepada BBC News Indonesia.

“Iming-iming magang yang bisa dikonversi dengan sejumlah SKS. Menggiurkan memang, magang dapat duit tapi dihitung kuliah. Memang TPPO itu iming-imingnya menggiurkan.”

Pada 2017 silam Migrant Care menangani kasus TPPO serupa di Kendal, ketika siswa-siswa sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) direkrut untuk bekerja di sebuah perusahaan Malaysia.

“Putusan hakim membebaskan pelaku karena katanya kasus pelaku perusahaan Malaysia,” ujar dia.

Siti pun mendorong para mahasiswa dan juga keluarga mereka untuk benar-benar mengecek kebenaran informasi dengan teliti dan menyelidiki dalam-dalam apabila ada program magang di luar negeri.

Terpisah, kriminolog Universitas Indonesia Ade Erlangga Masdiana yang juga pernah menjadi kepala biro humas Kemdikbud, meminta para mahasiswa untuk kritis atas tawaran-tawaran magang dan praktek lapangan di luar negeri.

“Seperti lembaga apa yang mengirim? Lembaga pengirim tersebut kredibel atau tidak?” ujar dia.

Kasus dugaan TPPO yang melibatkan 1.047 mahasiswa dari 33 kampus dengan modus pengiriman program magang mahasiswa ke Jerman ini kini telah ditangani polisi.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko menyatakan, kasus TPPO berkedok program magang di Jerman ini terungkap setelah empat mahasiswa yang tengah mengikuti Ferienjob mendatangi KBRI di Jerman.

Polisi sudah menetapkan lima orang tersangka, yakni ER alias EW; A alias AE, SS, AJ dan MJ. Dua dari lima tersangka masih berada di Jerman. Sedangkan seluruh korban sudah berada di Indonesia, termasuk Nita dan Ambar.

Nama dua mahasiswa yang diwawancarai dalam liputan ini disamarkan demi alasan keamanan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com