Weh-wehan atau Ketuin ini dilakukan dengan cara saling menukar makanan antartetangga.
Konon, tradisi Weh-wehan sudah dijalankan masyarakat Kaliwungu selama ratusan tahun.
Awalnya, weh-wehan hanya dilakukan oleh warga Desa Krajan Kulon dan Desa Kutoharjo, Kaliwungu. Namun belakangan kebiasaan ini meluas ke seluruh kecamatan.
Tradisi ini diperkirakan berawal dari salah satu penyebar agama Islam di Kaliwungu, Kiai Haji Asyari atau Kiai Guru.
Kala itu, Kiai Guru memberi makanan kepada masyarakat kampung pesantren sebagai bentuk kebahagiaan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Adapun makanan khas yang dibagikan yakni ketupat berbentuk segitiga dan berukuran kecil.
Ketupat yang disebut sebagai sumpil ini kemudian dibungkus dengan daun bambu dan cara memakannya diberi sambal kelapa.
Baca juga: Mengapa Ketupat Menggunakan Janur? Ini Maknanya
Tradisi Endog-endogan atau Muludan Endog-endogan digelar oleh masyarakat Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur untuk merayakan Maulid Nabi.
Diperkirakan, tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun sejak akhir abad ke-18 yang saat itu Islam masuk ke wilayah Kerajaan Blambangan.
“Endog” sendiri berarti telur dalam bahasa Jawa. Telur ini dipercaya sebagai simbol dari sebuah kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini dilakukan dengan melakukan pawai keliling kampung dan festival kesenian dengan unsur utamanya adalah telur.
Endog-endogan tersebut tak hanya dilaksanakan serentak sekali saja pada 12 Rabiulawal. Namun, tradisi itu biasanya dilaksanakan bertahap selama satu bulan penuh,
Pada hari pertama, akan dilaksakana di satu kampung kemudian hari berikutnya dilaksanakan di kampung lain.
Ampyang Maulid merupakan tradisi perayaan Maulid Nabi yang diadakan setiap tahun oeleh masyarakat Desa Loram Kulon dan Loram Wetan, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Pada pelaksanaannya, masyarakat mengarak tandu gunungan berisikan nasi kepal yang dibungkus oleh daun jati.
Selain itu, ada pula gunungan yang berisikan buah-buahan dan hasil sayuran lainnya.
Nasi bungkus dalam ampyang berisi nasi lengkap dengan kerupuk dan sayur yang dibungkus daun jati.
Setelah jadi dan ditata dalam gunungan, ampyang kemudian diarak dalam tradisi kirab dan didoakan oleh tokoh pemuka dan sesepuh agama Islam di Loram Kulon.
Setelahnya, barulah ampyang dibagikan pada warga yang menjadi puncak acara setelah kirab berakhir.
Tradisi kirab Ampyang Maulid dipusatkan di halaman Masjid Wali At-Taqwa, Desa Loram Kulon yang berjarak sekitar tiga kilometer sebelah selatan kota Kudus.
Baca juga: Hari Libur Maulid Nabi Muhammad SAW 2023, Tanggal 27 atau 28 September?
(Sumber: Kompas.com/Alinda Hardiyanto | Editor: Puspasari Setyaningrum, Rachmawati)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.