Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Beragam Tradisi Perayaan Maulid Nabi di Indonesia, Apa Saja?

Secara substansi peringatan Maulid Nabi merupakan wujud kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.

Merujuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, peringatan Maulid Nabi pada Kamis (28/9/2023) ditetapkan sebagai hari libur nasional. Kendati demikian, tidak ada cuti bersama dalam peringatan tersebut.

Di Indonesia, ada beberapa tradisi tersendiri atau khas yang dilakukan masyarakat untuk merayakan Maulid Nabi.

Kebanyakan tradisi khas tersebut diadakan secara serentak oleh masyarakat di suatu daerah dengan memiliki simbol dan makna tersendiri.

Berikut perayaan tradisi Maulid Nabi yang ada di Indonesia:

1. Sekaten (Yogyakarta dan Solo)

Dikutip dari Kompas.com, Selasa (26/9/2023), Sekaten merupakan tradisi perayaan Maulid Nabi yang dilakukan di Yogyakarta dan Surakarta (Solo), Jawa Tengah.

Biasanya, tradisi ini berlangsung dari tanggal 5 sampai 12 Rabiulawal dengan diisi pentas seni dan pasar rakyat.

Pada akhir rangkaian Sekaten atau pada 12 Rabiulawal, akan dilakukan Grebeg Maulud dengan mengarak gunungan.

Konon upacara Sekaten sudah ada sejak zaman Kerajaan Demak yang menjadi salah satu strategi dakwah Wali Songo dengan menyesuaikan kearifan lokal.

Istilah Sekaten disebut-sebut berasal dari kata Sekati yang merupakan nama seperangkat Gangsa (gamelan) yang dibunyikan selama pelaksanaan perayaan tersebut.

Namun, ada pula yang menyebut Sekaten berasal dari kata “syahadatain” yang merupakan kalimat untuk menyatakan seseorang memeluk Islam.

Bungo Lado merupakan tradisi Maulid Nabi yang berasal dari Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Bungo Lado berasal dari bahasa Minang, yakni kata “bungo” berarti bunga dan “lado” berarti lada atau cabai.

Namun alih-alih menggunakan bunga cabai, masyarakat setempat membuat pohon yang dihias dengan uang-uang kertas.

Pembuatan pohon uang tersebut didapat dari iuran warga dan dikoordinasi oleh kapala mudo atau ketua para pemuda (Karang Taruna).

Jika sudah jadi, Bungo Lado diarak menuju ke surau atau masjid yang kemudian digunakan dalam berbagai kegiatan keagamaan.

Selain Bungo Lado, warga juga menyajikan makanan khas berupa Jamba yang dimasak bersama-sama.

Ritual ini dilakukan dengan membersihkan gamelan sekaten di kompleks Keraton Kanoman yang menjadi bagian dari rangkaian perayaan Maulid Nabi. Ini bermakna sebagai membersihkan diri untuk menyambut Maulid Nabi.

Kemudian, air bekas cuciannya akan diperebutkan warga untuk membasuh wajah dan tubuh mereka.

Rangkaian tradisi Maulid Nabi akan dilanjutkan dengan ritual lainnya, yakni memayu Keraton Kanoman, tawurji, hingga puncaknya adalah panjang jimat.

4. Panjang Jimat (Cirebon)

Tradisi Panjang Jimat akan dilakukan serentak oleh tiga keraton, yakni Keraton Kanoman, Kasepuhan, dan Kacirebonan.

Panjang Jimat juga digelar di makam Sunan Gunung Jati, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.

Acara dilakukan dengan pembacaan riwayat Nabi, pembacaan barzanji, kalimat Thayyibah, selawat Nabi, dan ditutup dengan berdoa bersama.

Adapun Panjang Jimat berasal dari kata “panjang” yang bila ditafsirkan secara harfiah adalah bentuk piring dan perabotan dapur peninggalan sejarah.

Piring dan perabotan dapur tersebut diisi dengan berbagai makanan yang dianalogikan dengan prosesi kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan “jimat” merupakan akronim dari “diaji” dan “dirumat” yang berarti dipelajari dan diamalkan yang merujuk pada meneladani Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam.

Maudu Lompoa merupakan tradisi perayaan Maulid Nabi di Desa Cikoang, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Konon, tradisi ini sudah ada sejak 1621 saat ulama besar Aceh bernama Sayyid Jalaludin datang ke Takalar untuk menyebarkan agama Islam.

Pada pelaksanaannya, diperlukan persiapan 40 hari sebelum acara puncak dihelat.

Puncak acara tradisi Maudu Lompoa identik dengan kemeriahan julung-julung atau kapal kayu yang dihias kain warna-warni dan diisi dengan berbagai hasil bumi.

6. Baayun Maulid (Kalimantan Selatan)

Tradisi Baayun Maulid diadakan oleh masyarakat Suku Banjar yang ada di Kalimantan Selatan.

Baayun Maulid dilakukan dengan mengayun bayi atau anak sambil membaca syair Maulid.

Ayunan yang dibuat untuk Baayun Maulid terdiri dari tiga lapis kain yaitu kain sarigading (sasirangan), kain kuning, dan kain bahalai (sarung panjang tanpa sambungan).

Biasanya, tradisi ini dilakukan di masjid atau surau setempat dengan harapan agar anak-anak mereka nantinya bisa memiliki akhlak mulia seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW.

Diperkirakan, tradisi ini sudah diadakan secara turun-temurun sejak kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Gorontalo pada abad ke-17.

Tradisi Walima dimulai dengan lantunan Dikili atau tradisi lisan zikir masyarakat Gorontalo yang dilakukan di masjid-masjid.

Dalam perayaan ini, setiap rumah akan membuat kudapan tradisional yang khas, seperti kolombengi, curuti, buludeli, wapili, dan pisangi yang disusun di sebuah Tolangga atau usungan kayu yang menyerupai perahu atau menara.

Prosesi membawa Tolangga dari rumah ke masjid menjadi atraksi tersendiri yang ditunggu masyarakat setempat.

8. Masak kuah Beulangong (Aceh)

Dikutip dari Kompas.com (20/10/2021), Aceh memiliki berbagai jenis kuliner yang muncul di perayaan Maulid Nabi, salah satunya yakni kuah beulangong.

Kuah beulangong adalah makanan khas Aceh berupa kuah merah sejenis gulai yang menggunakan daging sapi atau kambing dan nangka muda.

Makanan ini disebut kuah beulangong karena proses memasaknya menggunakan belanga atau kuali besar yang dalam bahasa Aceh disebut beulangong.

Tak hanya saat Maulid Nabi, sajian ini juga muncul saat para petani mengadakan kenduri saat panen.

9. Weh-wehan (Kendal)

Tradisi Weh-wehan diadakan oleh masyarakat Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Weh-wehan atau Ketuin ini dilakukan dengan cara saling menukar makanan antartetangga.

Konon, tradisi Weh-wehan sudah dijalankan masyarakat Kaliwungu selama ratusan tahun.

Awalnya, weh-wehan hanya dilakukan oleh warga Desa Krajan Kulon dan Desa Kutoharjo, Kaliwungu. Namun belakangan kebiasaan ini meluas ke seluruh kecamatan.

Tradisi ini diperkirakan berawal dari salah satu penyebar agama Islam di Kaliwungu, Kiai Haji Asyari atau Kiai Guru.

Kala itu, Kiai Guru memberi makanan kepada masyarakat kampung pesantren sebagai bentuk kebahagiaan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Adapun makanan khas yang dibagikan yakni ketupat berbentuk segitiga dan berukuran kecil.

Ketupat yang disebut sebagai sumpil ini kemudian dibungkus dengan daun bambu dan cara memakannya diberi sambal kelapa.

10. Endog-endogan (Banyuwangi)

Tradisi Endog-endogan atau Muludan Endog-endogan digelar oleh masyarakat Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur untuk merayakan Maulid Nabi.

Diperkirakan, tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun sejak akhir abad ke-18 yang saat itu Islam masuk ke wilayah Kerajaan Blambangan.

“Endog” sendiri berarti telur dalam bahasa Jawa. Telur ini dipercaya sebagai simbol dari sebuah kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Tradisi ini dilakukan dengan melakukan pawai keliling kampung dan festival kesenian dengan unsur utamanya adalah telur.

Endog-endogan tersebut tak hanya dilaksanakan serentak sekali saja pada 12 Rabiulawal. Namun, tradisi itu biasanya dilaksanakan bertahap selama satu bulan penuh,

Pada hari pertama, akan dilaksakana di satu kampung kemudian hari berikutnya dilaksanakan di kampung lain.

Pada pelaksanaannya, masyarakat mengarak tandu gunungan berisikan nasi kepal yang dibungkus oleh daun jati.

Selain itu, ada pula gunungan yang berisikan buah-buahan dan hasil sayuran lainnya.

Nasi bungkus dalam ampyang berisi nasi lengkap dengan kerupuk dan sayur yang dibungkus daun jati.

Setelah jadi dan ditata dalam gunungan, ampyang kemudian diarak dalam tradisi kirab dan didoakan oleh tokoh pemuka dan sesepuh agama Islam di Loram Kulon.

Setelahnya, barulah ampyang dibagikan pada warga yang menjadi puncak acara setelah kirab berakhir.

Tradisi kirab Ampyang Maulid dipusatkan di halaman Masjid Wali At-Taqwa, Desa Loram Kulon yang berjarak sekitar tiga kilometer sebelah selatan kota Kudus.

(Sumber: Kompas.com/Alinda Hardiyanto | Editor: Puspasari Setyaningrum, Rachmawati)

https://www.kompas.com/tren/read/2023/09/27/140000465/beragam-tradisi-perayaan-maulid-nabi-di-indonesia-apa-saja-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke