Oleh: Runi Michiko dan Denrich Suryadi M.Psi., Psikolog*
USIA dewasa dalam rentang 19-25 tahun merupakan masa seseorang memperluas pertemanan dan mulai mencari pasangan yang dirasa sesuai untuk dilanjutkan ke jenjang berikutnya, yaitu pernikahan.
Namun, sayangnya dalam proses mencari seseorang yang tepat banyak masalah yang akan dihadapi. Salah satunya menjadi korban ghosting.
Kata-kata ghosting menjadi istilah populer pada saat ini, terutama sejak dikaitkan dengan peristiwa ghosting yang dilakukan oleh figur publik beberapa tahun lalu dan ramai dibicarakan di media sosial.
Ghosting merupakan keadaan seseorang menghilang secara tiba-tiba saat sedang menjalin hubungan.
Seseorang yang di-ghosting tidak menyadari bahwa ia sedang menjadi korban ghosting dan mencari-cari letak kesalahan komunikasi dari pasangannya (Navarro, Larrañaga & Yubero, 2021).
Dalam artikel New York Times “Why people ghost - and how to get over it” (2023) mencatat bahwa fenomena ghosting dilakukan saat seseorang menghilang dan menghindari adanya komunikasi.
Berdasarkan artikel tersebut terdapat tiga kategori level ghosting. Pertama adalah light-weight ghosting, yaitu seseorang melakukan ghosting hanya melalui media sosial.
Kedua adalah midweight ghosting, yaitu ghosting dilakukan ketika sudah dekat setelah beberapa kali bertemu. Dalam tahap ini membuat seseorang lebih sakit hati karena merasa sudah ada kedekatan yang lebih dalam.
Terakhir adalah heavy-weight ghosting, yaitu ketika seseorang di-ghosting ketika sudah melakukan hubungan seksual, dalam konteks pranikah di Indonesia.
Berdasarkan fenomena di atas membuat kita bertanya-tanya apa latar belakang yang membuat seseorang melakukan perilaku ghosting.
Penyebab seseorang melakukan perilaku ghosting dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Forrai, Koban dan Matthes (2023) mengemukakan dua alasan, yakni faktor komunikasi berlebihan dan konsep diri.
Komunikasi berlebihan
Pada era media sosial seperti sekarang, kita dapat menghubungi orang lain melalui beberapa media sekaligus. Hal ini yang dapat membuat seseorang merasa lelah dan tidak nyaman.
LaRose, et.al (dalam Forrai, Koban & Matthes, 2023) mengemukakan bahwa komunikasi berlebihan merupakan tuntutan komunikasi di media sosial yang melampaui kemampuan seseorang untuk berkomunikasi. Dampaknya akan berpengaruh kepada kesejahteraan mental mereka.