KOMPAS.com - Gempa bumi magnitudo 5,9 mengguncang Jogja dan sekitarnya pada Sabtu Wage, 27 Mei 2006.
Peristiwa yang terjadi pagi hari pukul 05.53 WIB itu menyebabkan lebih dari 5.000 orang meninggal dunia dan 20.000 orang mengalami luka-luka.
Guncangan gempa merobohkan banyak bangunan, mulai dari rumah warga, bangunan umum, dan sejumlah bangunan keraton.
Dilansir dari Harian Kompas, 28 Mei 2006, mayoritas korban meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan.
Lihat postingan ini di Instagram
Baca juga: Analisis BMKG soal Gempa M 7,7 Kaledonia Baru yang Picu Tsunami Kecil
Selain adanya gempa, isu tsunami yang sempat beredar juga menciptakan kepanikan dan suasana mencekam.
Warga berbondong-bondong ke luar rumah, memenuhi jalanan. Lalu lintas jalan raya menjadi kacau sehingga terjadi kecelakaan yang membuat warga terluka.
Dilansir dari Kompas.com (2022), pantauan Stasiun Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta menunjukkan, gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richer ini terjadi di lepas pantai Samudra Hindia.
Namun gempa tersebut dipastikan tidak menyebabkan gelombang tsunami.
Mengenang gempa Jogja 27 Mei 2006 (17 Tahun yang lalu).
Suasana Jalan Kaliurang saat ada isu Tsunami di Jogja paska Gempa bumi. pic.twitter.com/gfPQMrBSsJ
— Merapi Uncover (@merapi_uncover) May 26, 2023
Posisi episentrum gempa pada koordinat 8,26 Lintang Selatan (LS) dan 110,33 Bujur Timur (BT), atau pada jarak 38 km selatan Yogyakarta pada kedalaman 33 km.
Gempa bumi disebabkan adanta tumbukan antar Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia pada jarak sekitar 150 km-180 km ke selatan dari garis pantai Pulau Jawa.
Gempa susulan berkekuatan kecil terjadi beberapa kali setelah gempa utama.
Kanggo pepeling Jog wis 17 taun gempa jogja, isu tsunami, lan dibarengi merapi erupsi. 27 Mei 2006. Cr merapiuncover pic.twitter.com/4vQ8jUhbhT
— send menfess ke @suvbase (@jogmfs) May 26, 2023
Pasca kejadian gempa, semua rumah sakit baik pemerintah maupun swasta dipenuhi dengan korban gempa.
Korban berdatangan dengan luka ringan, parah, hingga meninggal dunia.
Beberapa rumah sakit bahkan tak sanggup menampung korban yang terus berdatangan. Akibatnya sejumlah pasien dirawat di halaman rumah sakit.
Tak cukup di situ, derita warga Yogyakarta masih terus berlanjut setelah gempa bumi terjadi.
Diberitakan Kompas.com (2022), masyarakat harus menghadapi kondisi ekonomi yang lumpuh total.
Pasar yang menjadi pusat perputaran ekonomi rakyat Yogyakarta tidak beroperasi. Bangunan itu roboh dan nyaris rata dengan tanah.
Pusat pertokoan di kawasan Malioboro dan warung-warung makan pun tutup.
Listrik di rumah warga juga padam, operasional Bandara Adisutjipto terhenti, stasiun kereta api hingga situs candi mengalami kerusakan.
Lihat postingan ini di Instagram
Baca juga: Gempa M 4,1 Guncang Jakarta Timur, BMKG: Gempa Deep Focus
Gempa Jogja meninggalkan trauma mendalam bagi korban terdampak. Salah satunya Sumarno (36) yang harus kehilangan istri dan kedua anakanya.
Ketika getaran mulai mengguncang tanah Jogja, dia dan sang istri baru tiba di Pasar Gempol, Kecamatan Wedi. Mereka tengan membongkar dagangan makanan ringan untuk ditata di lapak kaki lima.
Sang istri membantunya sambil menggendong anak bungsu mereka, Dafa. Sementara si sulung berada di dekat mereka.
Sumarno tertimpa bangunan beberapa kali. Tubuhnya sulit untuk bangkit menyelamatkan istri dan anaknya.
"Saya sempat kembali dan tertimpa genteng. Tetapi, karena saya tertimpa rangka, saya terhalang tertimpa bangunan langsung," tuturnya, dikutip dari Kompas.com (2021).
Trauma gempa Jogja juga membekas di memori warga Kapanewon Bambanglipuro, Evi Hariyanti.
"Tidak mungkin lupa dari ingatan. Trauma ya masih ada sedikit," ucapnya, dilansir dari Kompas.com, Jumat (26/5/2023).
Saat itu, Evi tengah mengandung dan mendekati hari kelahiran.
Dalam kondisi hamil tua, Evi harus menerima kenyataan bahwa rumahnya roboh akibat diguncang gempa. Bangunan itu hanya menyisakan bekas kandang sapi.
Sehari setelah gempa, Evi dilarikan ke rumah sakit khusus ibu dan anak karena tanda-tanda kelahiran mulai terasa.
Namun, rumah sakit itu juga menjadi tempat untuk merawat korban gempa.
Akhirnya pada 29 Mei 2006, anak pertamanya lahir dengan jenis kelamin perempuan. Bayi itu lahir dengan selamat.
Evi mengaku tak akan melupakan peristiwa itu.
(Sumber: Kompas.com/Ahmad Naufal Dzulfaroh, Diva Lufiana Putri, Markus Yuwono | Editor: Inggried Dwi Wedhaswary, Rendika Ferri Kurniawan, Dita Angga Rusiana).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.