Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Thrifting Baju Impor Bekas Ganggu Industri Tekstil Lokal? Ini Kata Desainer dan Pengamat Mode

Kompas.com - 22/03/2023, 11:30 WIB
Erwina Rachmi Puspapertiwi,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pemerintah belakangan ini terus berupaya menghentikan bisnis penjualan pakaian bekas impor.

Hal ini terlihat dari keputusan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UMKM) yang resmi melarang penjualan baju bekas impor.

Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi) hal ini karena bisnis impor pakaian bekas dianggap sangat mengganggu industri tekstil dalam negeri. Ia kemudian meminta agar bisnis impor pakaian bekas ditelusuri dan ditindak.

"Sudah saya perintahkan untuk mencari betul. Dan sehari, dua hari sudah banyak yang ketemu. Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri," ujarnya di Istora GBK, Jakarta, Rabu (15/3/2023).

"Yang namanya impor pakaian bekas. Mengganggu. Sangat mengganggu industri dalam negeri kita," lanjutnya lagi menegaskan.

Lalu, benarkah thriftting atau berburu pakaian impor bekas menganggu industri tekstil dalam negeri?

Baca juga: Ramai soal Kemenkop UKM Larang Thrifting karena Dinilai Merusak Industri Dalam Negeri


Bukan penyebab utama

Fashion designer merek Rengganis dan Indische sekaligus Vice Executive Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) Riri Rengganis mengungkapkan, penjualan pakaian impor bekas bukanlah hal utama yang menganggu industri tekstil lokal.

"Yang banyak itu barang jadi impor dari China, bukan barang bekas impor," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (21/3/2023).

Riri menjelaskan, thrifting adalah membeli barang bekas, bisa lokal maupun impor. Tindakan itu sejatinya tidak salah.

Namun, impor barang bekas adalah tindakan ilegal karena barang yang masuk tidak terkontrol. Ada yang bagus layak dipakai ulang, ada juga yang tidak layak jadi sama dengan sampah.

"Impor barang bekas ilegal itu yang jadi masalah, bukan thrifting-nya, dan musuh UMKM yang lebih besar itu impor produk jadi dari China daripada produk impor barang bekas itu," tegasnya.

Menurutnya, daripada produk impor bekas, barang jadi impor dari China lebih jelas menjadi pesaing bagi industri lokal. Barang dalam negeri, baginya, juga kalah jauh dari barang impor.

"Karena produk jadi China harganya juga di bawah harga produk lokal pada umumnya. Tapi kan ini masalah semua negara nggak cuma Indonesia," lanjut Riri.

Ia menyebut, infrastruktur industri tekstil di China lebih bagus dan efisien, dari segi SDM, teknologi, dan bahan baku. Proses produksinya juga dilakukan secara massal.

"Otomatis production cost lebih murah daripada kebanyakan negara lain." tambahnya.

Meski begitu, ia tidak memungkiri bahwa jual beli baju bekas atau thrifting memang menjadi pesaing bagi produk lokal.

Hal ini karena harga jual barang thrift yang lebih murah. Namun, menurutnya, tidak ada data pasti yang menyebut baju bekas jadi penyebab utama industri dalam negeri terganggu.

"Sedangkan kalau dilihat dari minat dan tren nggak ada patokan juga karena marketnya beda. Ada juga yang suka beli produk lokal maupun thrifting," lanjutnya.

Di sisi lain, produk bekas ini juga mengakibatkan dampak buruk bagi Indonesia. Negara ini jadi terpaksa menampung sampah negara lain.

Selain itu, pasar dalam negeri juga kebanjiran produk dengan harga terlalu murah. Ini akan mengganggu pasar produk merek lokal karena persaingannya jadi tidak sehat.

Baca juga: Dilarang Pemerintah, Mengapa Thrifting di Indonesia Sangat Diminati?

Mematikan UMKM

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengobrol kepada salah satu pelaku UMKM dalam gelaran Festival Tenaga Kerja Mandiri yang berlangsung 11-12 Maret, di Lapangan Banteng Jakarta.Dokumentasi Kementerian Ketenagakerjaan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengobrol kepada salah satu pelaku UMKM dalam gelaran Festival Tenaga Kerja Mandiri yang berlangsung 11-12 Maret, di Lapangan Banteng Jakarta.
Sementara itu, guru besar bidang pendidikan kewirausahaan busana Universitas Negeri Surabaya Prof. Dr. Marniati menyatakan bahwa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di bidang busana atau konfeksi akan mati jika thrifting dibiarkan dan bahkan menjadi tren seperti saat ini.

"Karena baju-baju bekas harganya lebih terjangkau dibandingkan dengan baju-baju produk UMKM tersebut," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (21/3/2023).

Kondisi ini, menurutnya, terutama akan mengancam industri tekstil lokal yang sebenarnya baru mulai bangkit setelah pandemi Covid-19.

Padahal, Marniati mengungkapkan bahwa industri tekstil lokal memiliki kualitas yang lebih baik daripada produk impor.

"Umumnya memproduksi bahan-bahan untuk baju-baju yang dipakai di daerah tropis, sejenis katun dan bahan dari serat alam lainnya, sehingga memang kalau dari kualitas dan kenyamanan digunakan lebih enak," jelasnya.

Marniati tidak mengelak kalau harga produk lokal lebih mahal bila dibandingkan dengan baju-baju impor. Namun, harga ini tidak terlepas dari besarnya biaya yang dikeluarkan produsen pakaian dalam negeri.

"Ada ongkos jahit, ada biaya produksi lain yang harus ditanggung oleh pengusaha konfeksi," tambahnya.

Baca juga: Beberapa Lokasi Thrifting Ternama di Indonesia, Ada di Mana Saja?

Solusi untuk UMKM

Pengamat mode dari Prodi Tata Rias dan Kecantikan Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Christine Ulina Tarigan mengungkapkan, sebagian orang lebih suka membeli pakaian impor bekas karena harganya murah, sesuai tren, tidak sama dengan milik orang lain, dan bermerek ternama.

"Mereka lebih yakin dengan kekuatan atau ketahanan pakaian tersebut dibandingkan barang lokal. Mereka menganggap, itu aja sudah bekas masih kuat dan bisa dipakai lagi," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (21/3/2023).

Sebaliknya, orang-orang ini menganggap produk lokal mudah sobek atau benangnya tidak rapi. Hal ini, menurut Christine, perlu menjadi bahan evaluasi bagi UMKM industri tekstil di Indonesia.

"Perlu menciptakan produk-produk yang kualitasnya tidak kalah saing dari luar. Misalnya dari segi kekuatan, kerapihan jahit, model, warna, dan aksesorisnya," jelasnya.

Selain itu, produsen pakaian lokal sebaiknya beralih menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Ini membuat produk itu bisa dipakai dalam jangka panjang atau diwariskan.

Contohnya, dari bahan katun organik, serat rami, kain linen, wol, serat bambu, kasmir, atau serat kedelai.

"Atau kain daur ulang. Misalnya, kain berbahan kimia dapat digunakan lagi untuk sarung bantal atau tas. Cukup membuat terobosan yang mengalihkan perhatian konsumen dari produk thrift shop ke produk lokal," tambahnya.

Menurut Christine, UMKM juga perlu menekan harga penjualan produk lokal agar tidak berbeda jauh dari pakaian impor bekas yang dijual toko thrift. Ini terutama ditujukan untuk menarik minat remaja sebagai kelompok yang paling mudah terpengaruh oleh iklan dan tren.

Ia menambahkan bahwa pihak pemerintah, UMKM, dan organisasi masyarakat perlu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya dari penggunaan pakaian impor bekas.

"Indonesia harus membuat produk yang sama kuatnya, sama bagusnya, dengan harga yang sedikit miring. Ini bisa menjadi bahan evaluasi untuk membuat perekonomian UMKM berkembang kembali," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com