KOMPAS.com - Sejarah mencatat nama Maria Ulfah Soebadio sebagai menteri perempuan pertama di Indonesia.
Perempuan kelahiran 18 Agustus 1911 ini merupakan anak dari Bupati Kuningan 1923, yakni RAA Mohammad Achmad dan ibunya bernama RA Hadidjah Djajadiningrat.
Maria Ulfah juga merupakan wanita pertama Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum dari Belanda (1933) di usia 33 tahun.
Baca juga: Mengenal Pratiwi Sudarmono, Astronot Pertama dan Satu-satunya dari Indonesia
Bahkan, ia berhasil menyelesaikannya dalam waktu empat tahun sejak 1929.
Di Belanda, ia kerap bertemu dengan para mahasiswa lainnya, seperti Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, sehingga semakin membentuk jiwa nasionalisnya.
Harian Kompas, 19 Agustus 1981 memberitakan, Maria Ulfah memulai kariernya sebagai guru di sekolah Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat sepulang dari Belanda.
Baca juga: Mengenal Ruhana Kuddus, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia
Meski seorang didikan Belanda, jiwa nasionalisnya begitu kental.
Ia bergabung ke dalam pergerakan wanita pada 1935 dan turut berperan dalam terlaksananya Kongres Perempuan Indonesia kedua.
Pada 1946, Maria Ulfah kemudian diminta oleh Sutan Sjahrir memegang jabatan sebagai Menteri Sosial (Mensos) untuk membantu pengembalian tawanan interniran.
Baca juga: Mengenal Husein Djajadiningrat, Doktor dan Guru Besar Pertama di Indonesia
Permintaan ini bukan tanpa alasan. Sjahrir ingin meyakinkan Sekutu bahwa Indonesia bukan boneka Jepang.
Pasalnya dalam budaya masyarakar Jepang saat itu, kedudukan wanita dipandang rendah.
"Saya menerima tugas dari Bung Sjahrir demi kemanusiaan. Apalagi sebagian besar tawanan adalah wanita. Namun tugas tersebut tidak saya lakukan sendiri, PMI juga berperan. Beberapa mahasiswa pejuang juga turut membantu," kata Maria saat itu.
Baca juga: Siti Baroroh Baried, Profesor Perempuan Pertama di Indonesia
Ia juga dikenal gigih dalam memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan.
Ini dilatarbelakangi oleh kegelisahannya sewaktu duduk di sekolah dasar ketika melihat ketidakadilan yang dialami oleh bibinya, seperti diberitakan Harian Kompas, 16 April 1988.
Baca juga: Kereta Api Pertama di Sulawesi, Apa Bedanya dengan KA di Jawa?
Kegelisahan itu diungkapkannya dalam buku Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan (1981):
Bibi saya pulang ke tempat orang tuanya untuk istirahat karena belum sembuh dari sakitnya. Tak lama ia menerima surat talak dari suaminya tanpa diberi alasan.
Ia tidak dapat memprotes. Kemudian ia mendengar bahwa ia ditalak karena tidak dapat memberi keturunan kepada suaminya. Dalam hati timbul pikiran, mengapa demikian nasib bibi saya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Baca juga: Mengenal Marie Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia
Peristiwa itu kemudian mendorongnya untuk melindungi seorang istri dari ketidaksemena-menaan suami.
Pada Kongres Perempuan Indonesia kedua, Maria Ulfah mulai menyuarakan cita-citanya mengenai perlindungan wanita yang telah menikah.
Ia pun mengusulkan pembentukan suatu biro konsultasi perkawinan.
Maka, dibentuklah Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) dan Komisi Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak Indonesia (KPKPAI).
Dalam Kongres Perempuan Indonesia ketiga, KPKPAI diakui kongres dan diberi nama baru menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPI).
Meski namanya mungkin tak sebesar RA Kartini dan Dewi Sartika, tapi jasa Maria Ulfah untuk negeri tak perlu diragukan, khususnya dalam memperjuangkan nasib perempuan.
Baca juga: Mengenang Sosok Marsinah, Aktivis Buruh yang Tak Mau Mengalah pada Nasib
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.