Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Surga Itu (Tetap) Ada di Bawah Telapak Kaki Ibu

Kompas.com - 04/12/2022, 13:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ajang FIFA World Cup Qatar 2022 tidak hanya sebatas pertandingan sepak bola antar kampiun. Perhelatan pertandingan demi pertandingan juga merefleksikan sisi kehidupan manusia. Ketika ada pemain yang terluka karena pertandingan, para pemain lain menyatakan simpatinya. Saat pertandingan usai, salam sportivitas selalu diperlihatkan antar sesama pemain.

Kesedihan para pemain Uruguay yang begitu kecewa karena gagal lolos ke babak per-16 besar ditampakkan Edinson Cavani yang menendang televisi Video Assistant Referee atau VAR di lorong stadion. Walau sudah menang susah payah dengan skor 2-0 atas Ghana tetapi Korea Selatan yang berhak maju dari Grup H (bukan Urugay) karena memiliki selisih jumlah gol yang lebih baik walau nilai yang diperolehnya identik dengan Uruguay. Pemain sepakbola sekelas Canani juga manusia, ada rasa marah, kecewa, dan sedih.

Dari semua momen epik yang tersaji di ajang FIFA World Cup Qatar 2022, ada suatu peristiwa menarik usai laga “hidup mati” antara kesebelasan Maroko dengan Belgia. Pemain Maroko yang bermain apik, Achraf Hakimi, berlari ke pinggir lapangan, tepatnya ke tribun yang berisi para pendukung Maroko.

Achraf yang kini bermain di klub elite Perancis, Paris Saint Germain (PSG) mencium kening seorang ibu. Dia mempersembahkan kemenangan Maroko pada seorang ibu, bukan pada seorang gadis cantik atau yang dikenal dengan wives and girl friends atau WAGS yang biasa ditenteng para pemain elite sepak bola kemanapun berlaga.

Baca juga: Fakta Piala Dunia 2022: Maroko dan 14 Pemain Kelahiran Luar Negeri

Ibu yang menjadi kebanggaan Achraf Hakimi bernama Saidah Mouh. Saida rela menjadi pembantu rumah tangga demi Achraf kecil bisa bermain bola dan menimba ilmu di klub semenjana di Maroko. Biaya sekolah Achraf pun ditanggung Saida seorang diri dengan bekerja keras.

Kini Maroko yang berjuluk “Singa Atlas” menorehkan prestasi dunia, untuk pertama kali lolos ke fase 16 besar Piala Dunia sepak bola mewakili Grup F. Dan Achraf pun bahagia memposting momen kemanusian terbesar dari seorang anak kepada ibunya melalui Instagram-nya agar dunia tahu betapa besar jasa seorang ibu bagi dirinya.

Bicara tentang jasa seorang ibu, saya pun kerap menangis jika teringat dengan mendiang ibu saya. Walau sudah wafat di tahun 2001, ingatan akan jasa dan pengorbanan seorang ibu yang hanya lulusan sekolah tingkat pertama begitu membekas.

Saya masih ingat agar saya bisa jajan di sekolah, ibu bangun di pagi hari dengan membuat kue-kue untuk jajanan anak sekolah. Saya antarkan kue-kue tersebut ke kantin-kantin sekolah. Sore ketika sekolah sudah bubaran, saya mengambil setoran uang hasil penjualan, sementara kue yang tidak laku terjual, itulah jajanan untuk saya.

Agar dapur bisa mengepul, ibu rela membeli beras dari keluarga TNI-AU di Halim Perdanakusuma, Jakarta lalu dijual kembali dengan margin keuntungan Rp 15 untuk setiap kilogramnya. Agar ibu tidak capek, sayalah yang saat waktu kelas 4 SD mengambil beras dengan sepeda pinjaman.

Saya bersepeda bolak-balik agar beras bisa cepat laku terjual dan hati ibu saya bisa bungah karena jualan berasnya laku. Kadang saya sering berbohong di depan ibu, bahwa sepatu sekolah yang saya pakai masih tetap enak dikenakan. Padahal, jari kaki saya sengaja saya tekuk agar tetap cukup masuk ke sepatu yang telah sempit.

Saya tidak ingin ibu bersedih karena tidak bisa membelikan sepatu baru untuk anaknya. Saya sadar sebagai anak bungsu dari enam bersaudara dan ayah bekerja sebagai satuan pengamanan alias Satpam usai pensiun dengan pakat sersan dari TNI-AD, kehidupan ekonomi keluarga saya begitu sulit.

Saya selalu menjual buku-buku pelajaran saat kenaikan kelas agar bisa membeli buku baru di kelas yang baru. Saya terpaksa menghafal isi buku agar tetap mengerti isi pelajaran di kelas sebelumnya. Akibat kebiasaan “kepepet” ini saya jadinya kerap diminta mengajar oleh para guru karena paham dan hafal di luar kepala isi buku.

Saat saya tengah bersedih karena kesulitan hidup menjadi calon dosen di Universitas Indonesia (UI) dengan honor Rp 50 ribu setiap bulannya di tahun 1992-1993, ibu saya menguatkan dengan sajian singkong goreng, masakan kesukaan saya dengan segelas teh manis agar saya terus semangat membuat naskah untuk media.

Dari honor pemuatan naskah di media, saya bisa membeli buku-buku baru dan membantu kehidupan. Sayangnya, saat saya menuntaskan pendidikan doktoral, ibu saya telah tiada. Ibu saya juga tidak bisa menyaksikan saat tenaga dan pikiran saya dibutuhkan oleh peresiden, menteri, kepala daerah atau saat saya tampil di televisi.

Mungkin ibu saya akan bercoleteh bangga, bahwa anaknya yang dulu rela berjualan kue dan mengambil beras untuk dijual kembali, kini telah bisa hidup mandiri.

Kasus Magelang: Anak Tega Meracuni Ibu dan Keluarganya

Peristiwa yang menggetarkan kemanusian terjadi di Dusun Prajenan, Desa Mertoyudan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin, 28 November 2022. Seorang anak kandung tega menghabisi ibu, ayah, dan kakak kandungnya dengan menggunakan racun arsenik.

Baca juga: Arsenik Dipakai Meracuni 1 Keluarga di Magelang, Korban Tewas 30 Menit Usai Minum

Bukan kali pertama, sebelumnya pelaku juga mencoba membunuh keluarganya dengan mencampurkan arsenik yang dibelinya secara online tetapi gagal karena takarannya yang tidak mematikan.

Deo Daffa Swadilla (22) sang pelaku, merasa kesal dengan beban kehidupan yang harus disandangnya dari sang ayah, Abbas Ashar (58), ibu Heri Riyani (54), dan kakak kandung Dea Khairunisa (25).

Kekesalan Deo anak “durhaka” terhadap keluarganya yang diracun itu terbantahkan dari cerita Sukoco, kakak kandung ibunya. Menurut Sukoco, adiknya sering mengeluhkan kelakuan Deo yang kerap menghabiskan uang bernominal besar hanya untuk kegiatan yang tidak jelas.

Deo selepas dari sekolah menengah atas (SMA) tidak memiliki pekerjaan alias menganggur. Berbeda dengan sang kakak, yang baru saja menyelesaikan kontrak kerjanya di PT KAI. Ayah Deo pun baru dua bulan yang lalu pensiun dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Kementerian Keuangan (Kompas.com, 03/12/2022).

Deo mungkin melupakan, dirinya pernah kecelakaan fatal dan sempat dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Ayah, ibu, dan kakaknya saling bergantian menjaganya di kamar perawatan di rumah sakit. Deo mungkin lupa, dari ibunya dia tumbuh dan besar berkat air susu ibunya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com