SETIAP negara memiliki busana nasional yang berperan sebagai identitas bangsa. Busana nasional, menurut Riyanto dalam Teori Busana (2003), merupakan jenis dan model busana yang menjadi kesepakatan suatu bangsa, bukan hanya untuk perempuan tetapi juga laki-laki. Meski umumnya busana nasional sebuah bangsa lebih dikenal melalui kaum perempuannya.
Edward Hutabarat dalam Busana Nasional Indonesia (1999) mendefinisikan busana nasional sebagai busana yang pada dasarnya berasal dari sebuah daerah yang telah disepakati, diterima, dan dikenakan oleh sebagian besar lapisan masyarakat untuk dijadikan sebagai simbol budaya nasional.
Baca juga: Goes to UNESCO, Ini Sejarah Kebaya di Indonesia
Berdasarkan penelusuran historis kebaya sebagai busana nasional Indonesia, Ananda Moersid dalam Re-Invensi Batik Dan Identitas Indonesia Dalam Arena Pasar Global (2013) menyatakan, upaya Presiden Soekarno untuk memiliki gaya ‘nasional’ melalui dipilihnya kebaya dan kain batik sebagai busana perempuan karena ia mengangankan sebuah semangat yang disebut ‘pan-Indonesian’.
Semangat ini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia yang pada masa itu menjalani awal kemerdekaan. Ketika itu kebaya menjadi ‘gaya nasional’ Indonesia yang baru merdeka sekaligus menyatukan heterogenitas budaya Indonesia.
Pemilihan sebuah pakaian tradisional menjadi busana nasional memang kental dengan nuansa politis, karena peran negara hadir dalam bentuk kewenangan dan kuasa. Sebagai busana nasional, sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno, kebaya dipopulerkan oleh ibu negara yang merepresentasikan perempuan Indonesia di ranah nasional dan internasional.
Pada masa Orde Baru, pemerintah memegang kuasa dalam penentuan pemakaian kebaya bagi perempuan-perempuan Indonesia yang berada dalam lingkup pemerintahan, mulai dari organisasi perempuan sampai pejabat pemerintah, dengan ibu negara sebagai role model perempuan yang berkebaya.
Pasca reformasi, eksistensi kebaya memudar dan mengalami detradisionalisasi, salah satunya disebabkan oleh tidak berperannya ibu negara sebagai figur publik utama. Sebagai contoh, dalam setiap kunjungan kerja ke berbagai wilayah, ibu negara lebih sering mengenakan pakaian modern ataupun pakaian tradisional, sesuai budaya daerah yang dikunjungi.
Begitu pula dalam momentum resmi kenegaraan seperti perayaan kemerdekaan Indonesia, ibu negara memilih pakaian daerah non-kebaya sebagai dress code. Ini dimulai tahun 2017, mengutip berita Kompas 18 Agustus 2017 dengan judul ‘Pesan Tersirat Lewat Pakaian Adat’: "Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara, Iriana Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Mufidah Jusuf Kalla, serta para tamu undangan mengenakan pakaian adat Nusantara saat mengikuti Upacara Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI dan penurunan bendera.
Rakyat pun menyaksikan keindahan warna-warni pakaian adat dari 34 provinsi. Istana Merdeka seketika mencerminkan Indonesia mini. Betapa kayanya Indonesia dalam kebinekaan.
Faktor lain yang berpengaruh pada detradisionalisasi kebaya adalah kiprah para perancang busana dalam merancang kebaya yang cenderung mengikuti selera pasar, sekaligus mengabaikan pakemnya. Populernya kebaya modifikasi mewah (kebaya pesta) hasil karya para perancang busana yang memakai figur selebritas dan tokoh publik membuat eksistensi kebaya klasik (kebaya pakem) yang biasa dikenakan sebagai busana nasional semakin tenggelam.
Baca juga: Cerita Diaspora Indonesia Keroyokan Kenalkan Kebaya di Eropa…
Terjadinya detradisionalisasi kebaya ini mendorong kaum perempuan yang bergabung dalam komunitas-komunitas kebaya untuk bergerak mengembalikan kebaya (retradisionalisasi). Mereka juga berupaya mengisi kekosongan peran ibu negara, dengan kata lain bahwa eksistensi kebaya saat ini dipopulerkan oleh komunitas (masyarakat).
Namun peran negara masih diperlukan karena mereka meminta dukungan dalam proses pengajuan kebaya untuk Hari Kebaya Nasional (HKN), kebaya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), dan penominasian kebaya sebagai Intagible Cultural Heritage UNESCO.
Pada titik ini, sesungguhnya posisi kebaya sebagai busana nasional Indonesia tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan kritis, seperti: Kenapa kebaya? Kenapa bukan pakaian daerah yang lain? Apa pentingnya kita memiliki busana nasional kalau faktanya keberagaman budaya Indonesia sangat kaya, sehingga bukan tidak mungkin andai semua pakaian daerah dapat diakui sebagai busana nasional?
Belum lagi pernyataan bahwa kebaya adalah jawasentris, jawanisasi, dan hegemoni budaya Jawa.
Pertanyaan lain yang kiranya perlu direnungkan adalah sejauh mana pentingnya kebaya sebagai elemen budaya sehingga layak untuk diperjuangkan melalui HKN, WBTB dan UNESCO?
Setelah itu, what next? Apabila ketiga pengakuan itu telah tercapai, siapa yang nanti akan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan kebaya?
Baca juga: Kemeriahan Parade Kebaya Nusantara di Pelataran Sarinah
Tentunya akan menjadi sebuah perjuangan yang sia-sia apabila ‘pengakuan’ itu hanya berupa seremoni dan selebrasi yang dirayakan setiap tahun tanpa ada sosialisasi dan edukasi yang berdampak positif terhadap masyarakat luas. Atau jangan-jangan hanya akan jadi tren sesaat sebelum kemudian hilang ditelan waktu.
Dengan demikian, gegap gempita gerakan berkebaya kiranya memerlukan kematangan rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang demi tegaknya marwah kebaya sebagai busana nasional agar diakui bangsa lain, dicintai bangsa sendiri, dan dirawat dari generasi ke generasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.