SAYA beruntung sempat berjumpa, bahkan berguru kearifan Islam, pada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai presiden keempat Republik Indonesia dan Cak Nur (Prof Nurcholish Madjid) sebagai pendiri dan rektor Universitas Paramadina.
Secara terpisah ruang dan waktu, saya sempat memberanikan diri untuk bertanya kepada Gus Dur dan Cak Nur mengenai kenapa begitu banyak peraturan yang harus ditaati muslimin dan muslimah.
Meski terpisah ruang dan waktu, namun jawaban Gus Dur pada prinsipnya sama dengan Cak Nur, yang apabila saya tidak keliru menafsirkanya, bahwa peraturan-peraturan Islam pada hakikatnya merupakan latihan disiplin serta ketaatan pada hukum serta etika dan moral yang telah disepakati untuk berlaku pada lingkungan sosio-kultural di mana manusia berada sesuai peribahasa, di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung.
Baca juga: Said Aqil: Kita Harus Tunjukkan Keislaman di Indonesia yang Lebih Bermartabat
Peraturan lima waktu sembahyang pada hakikatnya merupakan pendidikan disiplin tepat waktu sebagai bagian dari perjuangan manusia menempuh perjalanan hidup, sama halnya dengan kearifan jihad al nafs yang terkandung di dalam ibadah puasa pada bulan suci Ramadhan menjelang Idul Fitri, di mana setiap umat Islam kembali ke fitrahnya.
Dari kearifan Islam yang saya peroleh dari Gus Dur dan Cak Nur, saya mencoba menyimpulkan bahwa rukun Islam terdiri dari dua kata yaitu rukun yang digunakan sebagai sebutan bagi sesuatu yang menjadi tiang sandaran atau tiang bangunan. Rukun juga diartikan sebagai keadaan berdampingan, berdekatan, bersanding atau menyatu dengan bagian lain.
Kata "Islam" berarti berserah diri untuk memperoleh keselamatan dan kedamaian.
Dari kedua makna kata tersebut, rukun Islam dimaknakan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kearifan berserah diri untuk memperoleh keselamatan dan kedamaian yang sifatnya saling berhubungan satu sama lain.
Baca juga: Biografi Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
Meski terpesona oleh segenap keindahan Islam namun saya mengaku kepada Gus Dur dan Cak Nur bahwa semua syarat itu terasa berat, bahkan terlalu berat bagi saya, yang sangat tidak disiplin ini untuk menjadi seorang muslim.
Tanggapan Gus Dur dan Cak Nur atas pengakuan ketidak-mampuan saya membuat saya makin kagum terhadap kearifan Islam tentang makna keihlasan berserah diri.
Baca juga: Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafii Dinilai Kedepankan Islam Substansif
Jika suatu keikhlasan dipaksakan, baik oleh diri sendiri apalagi oleh orang lain, berarti keikhlasan tersebut sama sekali bukan sesuatu yang layak dianggap sebagai keikhlasan.
Mohon dimaafkan apabila saya keliru dalam mencoba menafsirkan ajaran Gus Dur dan Cak Nur tentang kearifan Islam. Jika terjadi kekeliruan, itu semata murni akibat kedangkalan daya pikir serta daya tafsir saya belaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.