Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gregorius Nyaming
Pastor

Mahasiswa S3 jurusan teologi dogmatik di The John Paul II Catholic University of Lublin

Memaknai Hidup Bersama Peladang Dayak

Kompas.com - 03/09/2022, 10:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARIAN Kompas edisi 29 Agustus 2022 menyajikan laporan tentang masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah yang sejak tahun 2015 tidak lagi diperbolehkan berladang dengan cara membakar. Cara berladang seperti ini oleh pemerintah dinilai membahayakan karena dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

Terbitlah kemudian Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Sebagai anak peladang Dayak, saya merasa sedih membaca laporan tersebut. Apa yang disajikan Kompas, di mata saya, lebih sebagai sebuah ratapan dari anak manusia yang tidak hanya kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga kehilangan jati dirinya sebagai manusia, manusia Dayak.

Baca juga: Mengenal Suku Dayak, dari Asal Usul hingga Tradisi

Dikatakan kehilangan jati diri karena lewat berladang manusia Dayak mengekspresikan hakikat dirinya sebagai makhluk religius dan makhluk sosial. Kompas sudah sangat tepat ketika mengatakan bahwa jika tradisi berladang berakhir, hilang pula identitas budaya orang Dayak.

Memang akan hilang karena dengan tidak lagi berladang, masyarakat Dayak tidak lagi bisa merayakan gawai, pesta syukur atas hasil panen. Dengan hilangnya adat gawai, sangat sukar rasanya membayangkan bagaimana manusia Dayak menjalani dan menghayati hidup mereka.

Lewat tradisi syukuran itulah masyarakat Dayak mengekspresikan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang tahu bersyukur dan berterima kasih untuk pemeliharan-Nya atas hidup umat-Nya.

Lewat tradisi syukuran itu pula masyarakat Dayak meneguhkan kebersamaan, persaudaraan, dan kekeluargaan yang menjadi sumber kekuatan dalam menjalani hidup berkomunitas.

Tradisi itu menjadi ekspresi manusia Dayak sebagai makhluk religius dan makhluk sosial. Tradisi gawai  juga mau menegaskan satu hal penting yakni bahwa bukan motif ekonomilah yang pertama dan utama mendorong orang Dayak berladang.

Keluarga yang mendapat hasil panen yang banyak tidaklah kemudian dibayangkan akan mendapat uang yang banyak pula. Karena hasil panen yang diperoleh akan disimpan di lumbung padi sebagai bekal untuk hari-hari mendatang. Bukan untuk diperjualbelikan di pasar.

Makan tentu saja merupakan kebutuhan setiap makhluk hidup. Begitu pula bagi masyarakat Dayak. Dengan berladang, mereka juga ingin agar kebutuhan tersebut selalu terpenuhi.

Namun, betapa pun makan penting bagi hidup mereka, tetapi hal itu tidak membuat para peladang menghalalkan segala cara dalam memenuhi kebutuhan tersebut.

 

Ada aturan-aturan adat yang mesti mereka taati. Ada kepercayaan-kepercayaan tradisional, yang mungkin di mata orang modern tampak irasional, yang wajib mereka indahkan bila hidup mereka ingin selamat dan jerih payah dalam berladang bisa menghasilkan buah yang baik.

Salah satu kepercayaan itu hadir dalam bentuk pengindahan mimpi dan tanda-tanda alam dalam rupa suara burung. Baik mimpi maupun suara burung, dalam beberapa suku Dayak, diyakini sebagai sarana yang dipakai leluhur untuk menyampaikan pesan-pesan penting yang berkaitan dengan kebaikan dan keselamatan hidup perorangan maupun seluruh anggota komunitas adat.

Menyatu dengan sesama, leluhur, dan alam

Bagi masyarakat Dayak, berladang bukan melulu berkaitan dengan kepentingan dan keselamatan diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga. Berladang selalu menyangkut kepentingan dan keselamatan orang banyak.

Karena berkaitan langsung dengan kebaikan dan keselamatan hidup, maka pesan-pesan yang disampaikan oleh leluhur sama sekali tak boleh diabaikan. Dalam kalangan kami suku Dayak Desa, dan saya kira juga dalam masyarakat Dayak pada umumnya, kemarahan leluhur menjadi satu hal yang sangat menakutkan.

Oleh karena itulah, baik dalam hidup dan pergaulan sehari-hari, pun dalam berladang, masyarakat selalu berupaya hidup harmonis dengan leluhur. Ritual adat pati gupung dalam masyarakat suku Dayak Desa kiranya bisa menjadi contoh untuk menerangkannya.

Baca juga: Cerita di Balik Peladang yang Ditangkap karena Tradisi Bakar Kebun

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com