Sekali lagi, bapa polah dengan membagikan minyak goreng gratis dengan melupakan jabatan pejabat negara yang disandangnya di acara partai politik dan untuk kepentingan keluarganya sangat tidak pantas dilakukan. Semua sudah mahfum, bapa polah membagikan “gretongan” minyah goreng tentu berharap anaknya mendapat suara di pemilu sama saja dengan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Di saat masyarakat kita membutuhkan kepastian ketersediaan minyak goreng murah di pasaran, apa yang dipertunjukkan Menteri Perdagangan itu dengan membagi-bagikan minyah goreng gratis di acara partainya dan untuk kepentingan anaknya sendiri, jauh dari kata “tidak pantas” dan tidak menjelaskan azas-azas good governance yang dijunjung tinggi.
Harus diakui, sifat atau karakter budi pekerti yang luhur semakin jauh dalam kehidupan masyarakat yang semakin modern. Masyarakat kita yang dulu dikenal karena keramahtamaannya, di era higtech ini menjadi sangat berkurang bahkan ada yang sudah pupus sama sekali.
Elite-elite pejabat dan pemuka agama yang dulu patut diteladani, kini menjadi diragukan perbuatan dan omongannya. Menghujat dengan sarkas, korupsi uang dan korupsi jabatan secara terang-terangan, tidak bisa membedakan mana yang halal dan haram menjadi gambaran yang umum dilihat kawula muda.
Makna yang terkandung dalam peribahasa anak polah bapa kepradah begitu sarat dengan nilai-nilai yang luhur sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang Pancasilais. Anak polah bapa keparadah mengingatkan kita semua akan tugas sebagai orangtua untuk memberikan warisan moral, ajaran dan ujaran, pendidikan serta tingkah laku yang pantas dan baik bagi kehidupan.
Bukan harta yang berlimpah yang menjadi jaminan keberhasilan anak-anak sang pewaris kehidupan tetapi budi pekerti yang baik yang akan menjadikan mereka di kelak kemudian. Saya jadi teringat dengan kisah nyata seorang anak panggede yang dibesarkan dengan gelimang harta dan kekuasaan yang otoriter yang dimiliki sang bapak. Semua keinginan sang anak dituruti oleh ayahnya sementara sang anak “menduplikasikan” cara ayahnya menggapai kekuasaan dengan mudah.
Anaknya ingin memonopoli perdagangan suatu komiditas, ayahnya pun memfasiltasi. Anaknya ingin punya pabrik kendaraan, sang bapak pun mengamininya.
Ketika ayahnya jatuh dari singgasana kekuasaan, sang anak pun masih berlagak kalau republik ini masih di bawah genggaman kekuasaannya. Banyak yang mengatakan bahwa buah “rontok” tidak jauh dari pohonnya. Tersirat makna dalam kalimat ini bahwa kebiasaan orangtua biasanya ter-copy paste kepada diri anaknya.
Jangan menyalahkan anaknya kalau bertingkah, karena bisa jadi orangtuanyalah yang mengajarinya secara tidak langsung atau langsung. Dengan demikian muara dan akhirnya menjadi terang benderang bahwa tingkah dari orangtua akan menjadikan anak juga berulah sama. Kita semua mendapat hikmah kebijaksanan bahwa dari pemuka agamapun kita tidak bisa menarik keteladanan ketika rasa sayang yang teramat “sayang” ternyata membutakan obyektifitas perilaku menyimpang sang putra.
Kita juga mendapat arti keteladanan bahwa “kemaruk” politik kerap membutakan akal dan menumpulkan nurani. Kita pun mendapat hikmah bahwa dari seorang menteri pun, kita ternyata tidak menemukan nilai-nilai perilaku yang patut dicontoh.
Justru dari seorang sopir angkot kita bisa meneladani perjuangan sebuah keluarga yang jauh dari berkecukupan dalam mendidik putra-putrinya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri