DRAMA penangkapan Moch Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi, tersangka kasus dugaan pelecehan seksual santriwati di Pondok Pesantren Majma'al Bachroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur begitu mengharu biru. Betapa tidak, sejak dua tahun lalu ditetapkan sebagai tersangka, Mas Bechi begitu “licin” bagai belut. Polisi begitu kerepotan dan kesulitan untuk menghadirkan Mas Bechi di kantor polisi untuk diperiksa, alih-alih menangkapnya.
Status Daftar Pencarian Orang (DPO) yang disematkan polisi kepada Mas Bechi menjadi bukti seolah-olah tersangka pelecehan seksual tersebut betapa sulit untuk dicari apalagi dicokok, padahal jelas dan cethoh weleh-weleh Mas Bechi hidup nyaman di dalam lingkungan pondok pesantren. Upaya polisi untuk menangkap Mas Bechi berkali-kali gagal karena mendapat perlawanan dan pengawalan yang ketat dari para pengikutnya.
Sebelum ditangkap, polisi nyaris membekuknya dalam iringan-iringan puluhan kendaraan roda empat. Ada kendaraan yang menghalangi laju petugas bahkan berusaha menabraknya, sementara Mas Bechi tetap lolos.
Bahkan upaya penangkapan terakhir melibatkan ratusan personel kepolisian dari Polres Jombang yang didukung penuh jajaran dari Polda Jawa Timur. Mas Bechi berhasil ditangkap usai negosiasi yang alot antara polisi dengan ayahnya selama 15 jam.
Kesulitan polisi tentu saja karena didasari antisipasi petugas untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Warga pondok pesantren yang mencapai ratusan dan mudah dihasut oleh pengikut-pengikut Mas Bechi serta tentu saja sikap ayah Mas Bechi, yaitu KH Muhammad Muchtar Mukhti, yang selalu “menghalang-halangi” upaya polisi menegakkan hukum (Detik.com, 6/7/2022).
Andai saja Kyai Muchtar Mukhti bersikap kooperatif, mengedepankan kearifan sebagai orangtua sekaligus pendidik yang layak ditiru dan digugu serta paham hukum, tentu sedari awal tidak akan menghambat proses hukum berlangsung. Soal anggapan kasus yang menerpa putranya sebagai fitnah, biarlah hukum berproses sebagaimana mestinya.
Mas Bechi, diusianya yang sudah dewasa, bisa mempertanggungjawabkan ajaran metafisika yang pernah diajarkan ke santriwati sebagaimana pengakuan para korbannya.
Anak polah bapa kepradah adalah sebuah peribahasa dalam Bahasa Jawa. Kata polah bermakna tingkah laku, sedangkan kepradah adalah menanggung malu. Jika ke dua kata ini dirangkai menjadi kesatuan kalimat “anak polah bapa kepradah” hal itu mengandung makna seorang ayah menanggung malu karena perbuatan yang telah dilakukan anak kandungnya sendiri.
Tingkah pola dari seorang anak akan berimbas terhadap orangtuanya. Masyarakat Jawa memiliki prinsip hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai adiluhung yang bersifat universal. Nilai-nilai luhur yang terus dipahami hingga sekarang seperti termaktub dalam kalimat bijak anak polah bapa kepradah berisikan petuah dan nasehat hidup dan kehidupan bahwa manusia harusnya menjalankan kehidupan dengan lebih baik. Tidak memperlakukan sesama anak manusia seperti budak, memaksakan kehendak di luar nalar kemanusian dan selalu mengatasnamakan Sang Pemilik Kehidupan untuk kepentingan pribadi yang melenceng.
Anak polah bapa kepradah menyiratkan dengan tegas bahwa apa yang dilakukan oleh seorang anak maka orangtua akan terkena dampaknya. Tingkah laku seorang anak berdampak terhadap orangtua. Jika tingkah anak berkelakuan tidak baik maka orangtua akan terimbas tidak baik juga. Begitu juga sebaliknya, jika anak bertingkah laku terpuji dan membanggakan maka nama orangtua ikut tersanjung baik pula.
Saya jadi teringat dengan perjuangan Udin Sudrajat (61), seorang pengemudi angkutan kota jurusan Cicadas – Elang di Kota Bandung, Jawa Barat, yang berhasil mengantarkan putranya bernama Udin menjadi lulusan terbaik Pendidikan Pembentukan Bintara Polri Gelombang I Tahun 2022 di Sekolah Pendidikan Kepolisian Negara (SPN) Jawa Barat (Kompas.com, 9/7/2022).
Baca juga: PKB soal Zulhas Bagi-bagi Minyak Goreng Sambil Kampanye: Bikin Malu, Jangan Keterlaluan!
Dengan segala keterbatasannya, Udin meraih rangking pertama jasmani terbaik dan penghargaan Adhi Makayasa untuk tiga aspek penilaian yang mencakup mental kepribadian, akademik, serta jasmani. Tak pelak prestasi Udin berimbas kepada nama baik ayah bahkan keluarganya yang berasal dari masyarakat dengan kehidupan pas-pasan. Bapak dari polisi Udin kini bisa membusungkan dada bahwa sopir angkot pun bisa punya anak gagah yang berkiprah di kepolisian.
Sebaliknya dari Lampung kita belajar mengambil hikmah, seorang pejabat negara yang juga ketua umum sebuah partai politik bisa juga bertindak; bapa polah anak kepradah. Tingkah laku yang dipertontonkan seorang bapak menteri yang seharusnya mengurusi tata niaga perdagangan, di antaranya persoalan minyak goreng yang tengah amburadul di pasar justru menggunakan “kewenangangannya” untuk kampanye politik anaknya.
Dalam acara PAN-sar Murah di Kecamatan Telukbetung Timur, Bandar Lampung, Lampung, Sabtu lalu, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, membagikan gratis minyak goreng curah berlabel Minyakita. Tentu tidak ada minyak goreng yang gratis di acara partai, Zulkifli malah meminta warga yang datang agar tetap menyimpan uang yang sedianya untuk beli Minyakita asalkan nanti memilih putrinya Futri Zulya Savitri di pemilihan legeslatif mendatang.
Alih-alih menyosialisasikan cara mendapatkan minyak goreng curah seharga Rp 14 ribu per liter yang harus menggunakan aplikasi Peduli Lindungi, si Bapa Menteri menjanjikan acara bagi gratis minyak goreng curah akan dihelat secara rutin setiap dua bulan sekali asalkan Futri putrinya dipilih di pemilu nanti (Kompas.id, 12/7/ 2022).