Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anas Syahrul Alimi
CEO Prambanan Jazz Festival

CEO Prambanan Jazz Festival dan Ketua Bidang Jaringan dan Pendidikan APMI (Asosiasi Promotor Musik Indonesia)

Blora yang Terpahat dari Kata-Kata, Selebihnya (Kelak) Perhelatan Musik Internasional

Kompas.com - 09/05/2022, 09:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LEBARAN memang sudah berlalu. Yang pulang ke masa lalunya kini berhadapan lagi dengan hidup yang kini; ada, apa adanya, maupun seadanya.

Jika lebaran semacam perjalanan pulang saban tahun, maka kali ini ingatan saya tertanam dengan kuat di Blora, Jawa Tengah. Bukan saja karena “Kota Jati” ini menjadi jalur leluhur spiritualitas saya, tetapi di sini ada Pramoedya Ananta Toer. Di sini, ada pujangga yang disumbang Indonesia kepada dunia.

Seperti saya yang pulang, Blora juga bagi Pram adalah blok-blok ingatan yang terus menariknya untuk datang walau sesaat. Tepat saat saya berjumpa dengan bupati Blora pada suatu malam, terngiang cerita Pram, Cerita dari Blora.

Baca juga: Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Masa Mudanya

Kali Lusi melingkari separuh bagian kota Blora yang sebelah selatan. Di musim kering dasarnya yang dialasi batu-krikil lumpur dan pasir mencongak-congak seperti menjenguk langit. Air hanya beberapa desimeter saja. Tapi bila musim hujan datang, air yang kehijau-hijauan itu jadi kuning tebal mengandung lumpur. Tinggi air hingga duapuluh meter. Kadang-kadang menjadi lebih. Dan air yang mengalir damai jadi gila berpusing-pusing. Diseretinya rumpun-rumpun bambu di tepi-tepi kali seperti anak kecil mencabuti rumput. Digugurinya tebing-tebing dan diseretnya beberapa bidang lading penduduk. Lusi! Dia merombak tebing-tebingnya. Dan di dalam hidup ini, kadang-kadang aliran yang deras menyeret tubuh dan nasib manusia. Dan dengan setahunya ia kehilangan beberaa bagian dari hidup itu sendiri ….

Seperti Umar Kayam yang membuka Para Priyayi dengan deskripsi memikat soal “halaman” dan “pohon” di jantung Kota Ngawi di Jawa Timur, Pram dengan melankoli memulai semuanya dari bambu dan sungai. Deskripsinya memikat. Dan, ini dia, dekripsi itu mengandung daya dan ironi.

Dari depan rumah kami nampak pucuk rumpun-rumpun bambu yang hijau hitam. Bila angin meniup mereka bersuling-suling meliuk-liuk yang selalu menimbulkan perasaan takut dalam hatiku di waktu kecil. Segera aku lari ke pangkuan bunda dan menangis. Dan masih terdengar-dengar hingga kini bunda bertanya: “Mengapa menangis?”

“Ibu … bambu itu menangis.”

Dan bunda mengambil daku dan diletakkan di pangkuannya. Berkata ia memberanikan: “Dia tidak menangis. Tidak. Dia sedang bernyanyi.”

Di sisi fiksi, saya mendengar Pram menangis pilu di sudut kota. Seperti hidupnya yang berkain badai dan derita. Di sisi lain, bambu yang menyanyi itu semacam modal sosial bahwa Blora bukan anak tiri sejarah setelah Arya Penangsang sungsang, setelah kota ini kelak identik dengan “kota yang keras”, kota dengan garis tangan melahirkan “pembangkang”: mulai dari Samin hingga Marco Kartodikromo, Maridjan Kartosoewirjo, dan Pramoedya Ananta Toer.

Tokoh “Bunda” dalam Cerita dari Blora adalah optimisme lain dari Blora bahwa bambu-bambu Blora sejatinya adalah bambu yang rindu seruling, rumpun yang bernyanyi dan bersastra. Dokumenter yang diproduksi Lontar beberapa dekade silam bahkan menyebut “Blora” sebagai kata pertama, bukan “Jakarta”, bukan pula “Pramoedya”.

Bambu dan rumpun yang menyanyi itulah yang saya dengar sayup-sayup saat saya dan rombongan Rajawali Indonesia dari Yogyakarta menyambangi Blora, menemui bupati, bertamu di rumah masa kecil Pram yang ada dalam Cerita dari Blora.

Termasuk, saya terus dikuntit Pram saat bercakap dengan Bupati.

Penduduk daerah kami digiring oleh air ke alun-alun. Mereka membawa anak, kerbau, sapi, dan diri sendiri. Dan barangsiapa tak cepat-cepat pergi akan digulung oleh air dan dibawa ke muaranya. Hujan terus jua jatuh dengan lebatnya. Rumah Ndoro Bupati penuh sesak oleh manusia. Kemudian dia lihat Ndoro Bupati keluar dari rumahnya membawa sebilah cemeti. Dipecutnya air yang menjilati tepi alun-alun sambil memantrai. Dan perlahan-lahan tapi pasti air pun mulai surut dan kembali masuk ke Kali Lusi.

Rumah sastra Pram di mana kata-kata pertama kali ditimba oleh salah satu anak kandungnya paling jenius dan tabah mengarungi belukar hidup adalah modal sosial yang begitu penting bagi Blora. Saat Cerita dari Blora diterjemahkan dalam bahasa bangsa-bangsa lain, saat itu Blora telah mengembara dalam alam pikir anak semua bangsa.

Pada sisi yang lain, kedatangan saya dari Yogya ke Blora semacam percakapan imajinatif betapa dua kota ini sesungguhnya menyimpan ketegangan yang kompleks. Paling tidak, bagi Pram. Dalam pikiran Pram yang bisa saya susur, Yogya bukanlah semacam kota pariwisata, kota budaya di mana pada 2003 ia datang pertama kali setelah ia bebas dari Pulau Buru pada 1978 sebagai seorang wisatawan domestik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com