“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
Kutipan surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”.
Kutipan surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1903
Dari surat-surat Kartini, yang dinukil tentang dua hal di atas dengan tarikh 1900-1903 untuk sahabatnya, Abendanon termaktub perempuan dan manusia adalah sebuah keutuhan. Sekaligus perempuan juga hamba bagi sang Pencipta.
Tentang itu, peringatan Hari Kartini tahun ini bersisihan dengan Ramadhan, bulan sakral bagi Muslim sedunia.
Dalam pandangan Islam, Hamba Allah (Abdul Kholiq) tak berarti hanya memampangkan ketundukan personal, yang ritual saja.
Namun juga kesadaran hakiki tentang kontribusi kongkret fenomena di luar diri (tinjauan muamalah). Yakni nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian pada lingkungan sekitar.
Sebuah pameran besar dari sepuluh perupa perempuan yang dihelat bulan April lalu di Galeri Nasional membawa pesan mendalam.
Sejatinya keperempuanan dan karya-karya seni serta kesalehan sosial saling berkelindan. Irisan dengan perayaan Hari Kartini bisa memberi ruang pembacaan ulang.
Tentang catatan-catatan kritisnya dengan dimensi spasial kaum hawa dan masyarakat di zaman digital yang mencengkeram kesadaran ini.
Pameran Seni yang cukup besar tahun 2022, bisa jadi membuka telaah spektrum luas dalam kajian-kajian seni pascafeminisme ala Barat.
Kajian yang tidak saja mengulas kesetaraan gender, tapi eksistensi perempuan mewakili mereka yang dipinggirkan, seperti kesenjangan sosial dll -- selain pergulatan personal spiritual Kartini yang berdimensi kultur lokal (Islam dan tradisi Jawa).
Kita bisa menyaksikan eksibisi seni itu sebagai manifestasi kegundahan sosial ‘para Kartini Abad 21’ yang digelar di Galeri Nasional Indonesia dari Indonesian Women Artists yang ke-3, dengan tajuk ‘Infusion Into Contemporart Art’.
Tema pameran bisa ditranslasikan bebas bahwa seni kontemporer memberi kontribusi energi untuk visi dan ide-ide unik, kontemplatif, menggigit dan tak biasa dari seniman; bermuatan artefak tak hanya yang estetis namun yang etis.
Para seniman itu berkarya selama karirnya lebih dari dua dasawarsa dan telah terbukti menjadi para jawara seni dengan pengakuan global atas nama seniman Indonesia.
Pengakuan Kurator paling senior yang mengampu perhelatan seni ini, yakni Carla Bianpoen, selain didampingi Inda Citraninda Noerhadi dan Citra Smara Dewi, meyatakan pada penulis:
“Saya memilih sepuluh perupa perempuan untuk diundang dalam pameran ini lebih pada gagasan-gagasan mereka yang berpihak pada nilai kemanusiaan universal. Juga konsern mereka pada perspektif lokalitas. Karya-karya mereka cenderung visioner dan bernuansa etis.”
Dari pernyataan Carla, kita mendapati karya-karya seni yang mentransmisi pesan tentang ingatan sejarah komunal, keberanian berpikir terbuka dan kritis dalam konteks bermasyarakat.
Selain keprihatinan tentang krisis lingkungan, penolakan stigma bagi yang dipinggirkan dan tentu saja: refleksi ketuhanan yang subtil.
Sisi yang sakral dibentangkan oleh patung-patung instalatif Wayang Golek Astari dengan diwakilkan sosok-sosok yang dianggap mulia dan bermartabat dari perempuan.
Lewat figur para Dewi dari khasanah mitologi lokal dan narasi perempuan-perempuan suci global yang karyanya menyambut di pintu utama Galeri Nasional.
Perempuan-perempuan perkasa, yang profan; dipampangkan di galeri dengan karya Tita Rubi, dengan abstraksi instalatif tiga perahu yang menceritakan simbol hal-ikhwal zaman penjelajahan Samudera, sekitar 1618, seperti katanya: