Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mukhijab
Dosen Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

Kembali Sungkem Manual

Kompas.com - 30/04/2022, 14:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUA tahun dilarang mudik massal karena pandemi Covid-19 (Maret 2020 – Maret 2022). Sejalan dengan meredanya penyebaran virus Corona dan berlangsung transisi dari pandemi ke epidemi, mudik massal kini dibuka.

Larangan mudik bagi warga kota ke kampung halaman pada Lebaran 1441 Hijriah/2020 dan 1442 Hijriah/2021, merobek-robek budaya sungkem secara manual atau bertatap muka.

Kelekatan dan keharmonisan sempat terganggu ketika anak dirantau tidak bisa bertemu dengan orangtua dan sanak di kampung. Dua tahun terjadi semacam tahun-tahun gegar budaya (culture sock) akibat barikade pertemuan manual antarkeluarga yang berbeda daerah tinggalnya.

Baca juga: 7 Contoh Sungkem Lebaran Bahasa Jawa yang Diucapkan Saat Idul Fitri

Pembatasan interaksi tatap muka itu, sejauh ini dikompensasi dengan silaturahmi maupun sungkem yang dimediasi oleh perangkat teknologi informasi (digitaliasi sungkem atau virtualisasi sungkem). Iklan-iklan layanan masyarakat di televisi maupun sosial media menggambarkan, warga di kota-kota yang dilarang mudik tidak perlu khawatir karena penyedia layanan komunikasi siap untuk memediasi sungkem mereka.

Lebaran 1443 H/2022 tidak ada lagi barikade silaturahmi secara tatap muka. Warga kota bisa bebas mudik. Meskipun terdapat syarat dari pemerintah yaitu pemudik harus vaksin booster, sejauh ini lancar-lancar, tidak ada respon yang destruktif. Apakah maknanya semua pemudik sudah vaksin booster?

Aji mumpung

Euforia dan sikap aji mumpung menjadi situasi yang perlu diwaspadai. Seperti mahluk yang baru bebas dari kekangan, maka ekspektasi terhadap kebebasan sangat tinggi. Dalam situasi demikian, resiko penularan virus Corona terlupakan karena angka kejangkitan virus ini makin turun.

Kebebasan dalam anjangsana selama silaturahmi di kampung, menjadi inkubasi kembali kolektivitas dan solidaritas. Meminjam istilah sosiologi Emile Durkheim (Johnson, 1986), solidaritas organik akan terbentuk lagi dengan adanya regulasi bebas mudik dan jutaan warga memanfaatkan kesempatan itu untuk saling bersapa, berkunjung, dan bercanda.

Selama pandemi Covid-19, solidaritas mekanik lebih berkembang. Warga “menikmati dan menaati” regulasi larangan mudik dengan menghadirkan silaturahmi dan sungkem daring atau sungkem digital.

Saat pandemi Covid-19 tinggi, ada aturan main tentang pembatasan pergerakan warga dari satu tempat (kota/daerah ke daerah lain). Meskipun terdapat larangan itu, sungkem tetap dijalankan dengan medium sosial media, seluler, dan perangkat sejenis lainnya. Terdapat solidaritas yang didasarkan kepentingan mengantisipasi wabah yang lebih masif, meskipun sikap itu dijalankan secara terpaksa.

Sungkem manual bisa mengobati gegar budaya Lebaran yang terkoyak oleh larangan mudik. Peluang inkubasi solidaritas sosial organik sangat potensial karena budaya saling sapa, saling bergantung, saling berkunjung, saling memberi dan menerima, membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi merekat kembali disparitas sosial.

Momentum sungkem manual itu sangat kondusif untuk membangun kesadaran kolektif tentang kedaerahan yang berbasis ke-Indonesia-an. Apabila itu benar terjadi, maka totatalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama menjadi pemandu menuju kolektivitas sosial.

Baca juga: Mudik Lebaran 2022: Tips Satgas Covid-19 Cegah Penularan Virus Corona Saat Silaturahmi

Warga kota yang keseharian lebih didominasi kultur individualitas, bisa saja mengalami sedikit perubahan perilaku yang lebih solider selama di lokasi mudik, di mana individualitas ditekan oleh kebersamaan dalam budaya Lebaran, dan itu lambat maupun bisa mendorong konformitas.

Perbedaan sebagai orang kota, pemudik, dengan orang desa melekat, tetapi dalam perbedaan itu terdapat perekat kembali saling ketergantungan, saling membutuhkan, saling bersaudara.

Perbedaan orang perantau dengan orang lokal, pemudik dan orang desa, tidak mengganggu atau tidak saling melumpuhkan identitas, justru memperkuat solidaritas sebagai kerabat, sahabat, dan teman. Solidaritas itu makin bertambah tinggi dengan adanya perbedaan sebutan, identitas, yang dibalut oleh Lebaran, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai saling mengasihi, saling memaafkan, dan saling asuh.

Euforia itu sesuatu yang manusiawi apabila masing-masing warga bisa saling menjaga diri dan tetap dalam koridor protokol kesehatan selama silaturahmi Lebaran. Siapa bisa memanjamin situasi demikian tetap kondusif? Ini problem di balik sisi positif mudik Lebaran dan silaturahmi antarkerabat, sahabat, dan teman.

Dalam kebebasan biasa terjadi sikap permisif, sikap yang membolehkan segala sesuatu bisa diterabas dengan alasan bahwa kesempatan pesta kemenangan itu satu tahun satu kali, belum pasti terulang tahun berikutnya karena alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, stock opname maupun tabungan sedang tidak baik-baik saja.

Berserah

Euforia yang tak terkendali bisa merusak solidaritas sosial. Karena terjadi perbedaan pandangan bagaimana berperilaku dalam menjaga protokok kesehatan. Maka, ketegangan dalam silaturahmi Lebaran bisa saja sedikit merusak solidaritas.

Ketika perbedaan menegakkan protokol kesehatan menjadi kendala dalam silaturahmi, maka inkubasi solidaritas dan kolektivitas yang diharapkan tumbuh lagi bisa tercabik.

Sebaliknya menerapkan regulasi kesehatan dan bahaya Covid-19 menjadi tekanan dalam interaksi warga. Dalam suasana santai yang diharapkan melepas kangen, melepas penat dan jenuh, diganggu oleh aturan protokol kesehatan, dalam level minimal seperti setiap orang wajib memakai masker, ini menjadi regulasi yang dianggap mendorong situasi anomali, orang kangen, dua tahun tidak mudik masih saja direcoki urusan masker.

Dalam situasi demikian solidaritas organik bisa berubah menjadi solidaritas mekanik, suatu relasi sosial yang berbasis pada aturan-aturan moral maupun hukum.

Orang-orang sering berkelakar, di desa tidak ada Corona, virus itu hanya di kota, maka regulasi protokol kesehatan bisa dianggap menyalahi kearifikan lokal.

Dengan demikian terjadi dilema antara menikmati interaksi terbuka dan bebas sepenuhnya, dan menaati aturan protokol kesehatan.

Dalam situasi demikian, orang sering melakukan transformasi tanggung jawab dari level manusia ke level Tuhan. Orang-orang beragama sering mengungkapkan bahwa hidup dan mati, sehat dan sakit terjadi atas intervensi Yang Maha Kuasa.

Karena itu Lebaran yang hanya terjadi satu kali dalam setahun menjadi momentum kembali ke Tuhan bahwa segala sesuatu terjadi atas campurtangan Tuhan (takdir). Karena itu melakukan mudik, menebar silaturahmi, perlu campur tangan Tuhan agar “pesta kemenangan” pasca saum satu bulan tetap dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Selamat Idul Fitri 1443 Hijriah/2022 Masehi. Taqabbalallahu minna wa minkum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com