Oleh: Meike Kurniawati
BELAKANGAN ini jamak melihat orang, siapa pun itu, yang memamerkan harta/barang-barang mewah.
Mereka memamerkan apa saja mulai dari perjalanan keluar negeri, pamer saldo ATM, tumpukan uang, fashion mahal, private jet, dan sederet barang lainnya.
Belakangan muncul sebutan crazy rich, Sultan.
Perilaku pamer yang dulunya dianggap tabu, tidak boleh, tidak pantas, kini menjadi hal yang biasa.
Pakar bisnis Reynald Kasali menyebut fenomena ini sebagai flexing (pamer).
Pada 1899 ekonom Thorstein Veblen, dalam bukunya, The Theory of the Leisure Class, melahirkan istilah 'conspicuous consumption' konsumsi yang mencolok, konsumsi yang sengaja ditunjukkan pada orang lain.
Istilah untuk menggambarkan bagaimana benda atau barang dipamerkan untuk menunjukkan status dan posisi sosial seseorang.
Pamer/Flexing/Conspicuous consumption dilakukan untuk berbagai tujuan, menunjukkan status dan posisi sosial, menunjukkan kemampuan, menciptakan kesan pada orang lain.
Bahkan menurut Reynald Kasali juga banyak digunakan sebagai strategi pemasaran.
Flexing secara “halus”. Flexing secara halus misalnya ketika menjadi pembicara, maka perlu ada CV pembicara.
Para pembicara akan menjelaskan latar belakang pendidikan, penghargaan, capaian, dll. Tujuannya supaya pendengar yakin akan kemampuan pembicara.
Atau ketika mengunjungi salon kecantikan, ada ijazah pendidikan atau penghargaan yang didapat pemilik salon sebagai bukti kompetensi yang dimilikinya, dan masih banyak lagi.
Orang terkadang juga memamerkan prestasi, capaian dalam bidang pekerjaan di media sosialnya.
Hal ini penting terutama untuk meyakinkan konsumen, branding diri, promosi.