BELAKANGAN ini jamak melihat orang, siapa pun itu, yang memamerkan harta/barang-barang mewah.
Mereka memamerkan apa saja mulai dari perjalanan keluar negeri, pamer saldo ATM, tumpukan uang, fashion mahal, private jet, dan sederet barang lainnya.
Belakangan muncul sebutan crazy rich, Sultan.
Perilaku pamer yang dulunya dianggap tabu, tidak boleh, tidak pantas, kini menjadi hal yang biasa.
Pakar bisnis Reynald Kasali menyebut fenomena ini sebagai flexing (pamer).
Pada 1899 ekonom Thorstein Veblen, dalam bukunya, The Theory of the Leisure Class, melahirkan istilah 'conspicuous consumption' konsumsi yang mencolok, konsumsi yang sengaja ditunjukkan pada orang lain.
Istilah untuk menggambarkan bagaimana benda atau barang dipamerkan untuk menunjukkan status dan posisi sosial seseorang.
Pamer/Flexing/Conspicuous consumption dilakukan untuk berbagai tujuan, menunjukkan status dan posisi sosial, menunjukkan kemampuan, menciptakan kesan pada orang lain.
Bahkan menurut Reynald Kasali juga banyak digunakan sebagai strategi pemasaran.
Flexing strategi Pemasaran
Flexing secara “halus”. Flexing secara halus misalnya ketika menjadi pembicara, maka perlu ada CV pembicara.
Para pembicara akan menjelaskan latar belakang pendidikan, penghargaan, capaian, dll. Tujuannya supaya pendengar yakin akan kemampuan pembicara.
Atau ketika mengunjungi salon kecantikan, ada ijazah pendidikan atau penghargaan yang didapat pemilik salon sebagai bukti kompetensi yang dimilikinya, dan masih banyak lagi.
Orang terkadang juga memamerkan prestasi, capaian dalam bidang pekerjaan di media sosialnya.
Hal ini penting terutama untuk meyakinkan konsumen, branding diri, promosi.
Flexing tipe ini mungkin masih “sopan” dan “berkelas” dibanding dengan flexing/memamerkan kekayaan.
Meskipun demikian, flexing tipe ini tetap dengan catatan “tidak terlalu berlebihan”. Terbayang kan bertemu dengan orang yang flexing gelar atau pendidikan secara berlebihan.
Bukan kesan baik yang akan didapat melainkan kesan norak, sombong, yang akan merugikan diri sendiri, alih-alih mempromosikan diri.
Lantas bagaimana dengan flexing harta benda, jet pribadi, fashion mahal?
Flexing cara ini, menurut Reynalad Kasali, juga ditujukan untuk membangun kepercayaan konsumen dan pada akhirnya konsumen mau menanamkan uang atau membeli produk yang ditawarkan.
Flexing juga dilakukan untuk menarik orang agar mau bergabung menjadi anggota dalam sistem bisnis tertentu, untuk mendapatkan banyak follower di media sosial, dll.
Meskipun flexing merupakan salah satu strategi marketing yang dapat dilakukan untuk menarik konsumen, tetapi tentunya masih banyak strategi lain yang jauh lebih “baik” dibanding flexing berlebihan.
Risiko menjadi korban kejahatan, masalah dengan pajak, masalah etika, risiko sosial lain adalah risiko yang muncul karena flexing berlebihan.
Melalui flexing orang mengirimkan signal pada orang lain mengenai kualitas dirinya. Ibarat price signaling (sinyal harga).
Signal yang diberikan produsen pada konsumen bahwa harga menentukan kualitas produk.
Bagi kebanyakan orang, harga berbanding lurus dengan kualitas. Produk yang lebih mahal dianggap lebih baik, berkualitas.
Tentu saja, hal ini tidak selalu akurat, karena ada faktor lain yang dapat memengaruhi harga suatu produk.
Demikian juga dengan flexing, tidak berarti semakin banyak yang dipamerkan berarti semakin kaya atau semakin hebat. 'Poverty Screams, but Wealth Whispers'.
*Meike Kurniawati, Dosen Fakultas Psikologi
https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/29/080000365/marketing-pamer