Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Meraba-raba Makna Logika

Kompas.com - 31/12/2021, 13:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AYAH saya dilahirkan di desa Wonogiri dan ibu saya dilahirkan di desa Banyumas, dua-duanya di Jawa Tengah. Maka, wajar apabila kedua beliau hidup di lingkungan kebudayaan Jawa. Ayah dan ibu saya tidak mengenal istilah “logika” tetapi lebih kenal “nalar”.

Ayah dan ibu saya mendidik saya untuk selalu berpikir nalar tanpa menjelaskan apa arti istilah nalar itu. Semula saya menduga bahwa nalar adalah cara berpikir secara baik dan benar. Ternyata dugaan saya tidak terlalu keliru.

Baca juga: Ilmu Pengetahuan Logika, Contoh Analisis, Klasifikasi, dan Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna kata nalar ada dua, yaitu sebagai adverbia dan sebagai kata benda . Sebagai adverbia nalar bermakna selalu, sementara sebagai kata benda nalar bermakna, pertama terkait pertimbangan tentang baik buruk dan sebagainya; akal budi. Makna kedua terkait aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis; jangkauan pikir; kekuatan pikir. Sinonim nalar adalah akal budi.

Filsafat

Nahas tak tertolak, mujur tak teraih. Kemudian, saya nekad mencoba mempelajari apa yang disebut sebagai filsafat. Dalam mempelajari filsafat Barat saya kebetulan menjumpai apa yang disebut logika yang menurut KBBI adalah jalan pikiran yang masuk akal.

Arti lain dari logika adalah pengetahuan tentang kaidah berpikir. Ada pula yang memaknakan logika sebagai ilmu mantik.

Akibat punya banyak waktu di masa karantina diri akibat pagebluk Covid-19 yang disebabkan virus corona, saya coba-coba meraba-raba makna istilah logika yang konon secara etimologis berasal dari bahada Yunani: logos.

Ternyata menurut buku-buku filsafat, jenis logika cukup beraneka ragam seperti misalnya logika deduktif, logika formal, logika induktif, logika matematika, logika simbolik, logika fuzzy, bahkan ada logika majemuk yang memiliki beragam makna saling beda satu dengan lain-lainnya.

Pendek kata logika adalah santapan lezat untuk dilahap secara bingungologis dengan jaminan tidak akan sempurna habis terkunyah apalagi tercerna, alias sebenarnya sama saja dengan mustahil sempurna.

Keyakinan bahwa logika mustahil bisa didefinisikan secara sempurna pada hakikatnya logis akibat mustahil ada manusia yang sempurna, maka logis mustahil pula ada pemikiran manusia yang sempurna padahal atau karena logika merupakan bagian melekat pada pemikiran manusia.

Kebingungan saya tentang upaya memaknai logika secara logis makin diperparah oleh kesimpangsiuran logika yang terkandung di dalam paradoksa Zeno (atau paradoksa yang terkandung di dalam logika Zeno?) yang memaksakan ketidaklogisan logika terhadap sesuatu kenyataan yang sebenarnya terkesan logis.

Wajar bahwa otak saya yang cuma secuil langsung babak-belur ketika mencoba-coba dengan menggunakan logika berupaya menjawab pertanyaan, apakah Yang Maha Kuasa sedemikian maha kuasa sehingga kuasa menciptakan sebuah benda yang sedemikian berat sehingga Beliau sendiri tidak kuasa mengangkat-Nya.

Atau apakah saya harus percaya kebenaran pernyataan Mochtar Lubis bahwa semua orang Indonesia munafik padahal beliau sendiri adalah orang Indonesia. Atau tentang saya tak kunjung mengerti logika pada istilah "ulang tahun" dan "salah satu".

Sama halnya saya tak kunjung paham mengenai alasanologika angka minus ditambah angka minus menjadi angka makin minus tetapi angka minus dikalikan angka minus harus menjadi angka plus. Kenapa oh kenapa?

Absurd

Berdasarkan realita keanekaragaman serta kesimpangsiuran tafsir atas makna logika maka demi mengurangi kebingungan, saya harus memilih logika jenis tepat-guna ketika menghadapi suatu masalah.

Adalah absurd apabila saya menggunakan logika matematika untuk memecahkan masalah agama dan sebaliknya logika agama mustahil bisa berhasil memecahkan masalah matematika. Kecuali didogmakan.

Baca juga: ICW Kritik Logika Berpikir Arteria Dahlan soal Penegak Hukum Tak Bisa Kena OTT

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com