Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena Anak Gugat Orang Tua, Mengapa Bisa Terjadi?

Kompas.com - 27/11/2021, 20:29 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Seorang ibu berusia 76 tahun di Boyolali, Jawa Tengah digugat oleh dua orang anaknya karena urusan tanah warisan.

Humas PN Boyolali Tony Yoga Saksana mengatakan, penggugat mendaftarkan gugatannya atas perkara tersebut ke PN Boyolali pada Selasa, 14 September 2021 lalu.

Sampai saat ini, proses persidangan terkait perkara hibah tanah warisan tersebut masih berlanjut karena upaya mediasi gagal.

Ini menjadi catatan panjang kasus gugatan anak kepada orang tua.

Kasus serupa juga belum lama ini terjadi di Aceh, ketika seorang ibu 72 tahun digugat anak kandungnya gara-gara warisan rumah.

Baca juga: Ramai soal Antrean Daftar Gugat Cerai di Jabar, Apa yang Terjadi?

Lantas, mengapa sekarang banyak anak gugat orang tua?

Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Rahesli Humsono mengatakan, fenomena anak gugat orang tua ini semakin menunjukkan melemahnya nilai keluarga dalam masyarakat.

Meski demikian, ia menyebut langkah hukum itu lebih baik daripada kekerasan fisik kepada orang tua.

Rahesli menjelaskan, ada sejumlah faktor penyebab gugatan anak kepada orang tua semakin banyak terjadi.

Baca juga: Mengapa Orang Tua Tidak Menyukai Musik Modern?

Fungsi keluarga sebagai perlindungan bagi semua anak

Rumah keluarga tergugat AH yang yang terkena dampak proyel tol Solo-Yogyakarta di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (25/11/2021).KOMPAS.com/LABIB ZAMANI Rumah keluarga tergugat AH yang yang terkena dampak proyel tol Solo-Yogyakarta di Dukuh Klinggen, Desa Guwokajen, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (25/11/2021).

Pertama, masalah ini berkaitan dengan fungsi keluarga sebagai perlindungan bagi semua anak.

"Dari berita yang saya baca, orang tua sudah merasa melindungi anak dengan memberikan hasil menjual tanah untuk keperluan anak tersebut," kata Rahesli kepada Kompas.com, Sabtu (27/11/2021).

"Namun dari sisi anak, mungkin yang dirasakan berbeda, yakni apa yang diperoleh lebih sedikit dari saudaranya. Jadi ia merasa tidak mendapat perlindungan yang sama," sambungnya.

Baca juga: Mengintip Praktik Kurikulum Tersembunyi pada Budaya Kekerasan di Sekolah...

Kedua, orang tua di masa sekarang bukan lagi sumber satu-satunya keberhasilan anak.

Menurutnya, ada beberapa sumber lain yang berpereran di luar keluarga, misalnya pengetahuan, jaringan, pekerjaan yang semuanya sangat mungkin dicari sendiri oleh anak.

Karenanya, ketergantungan dan penghormatan pada orang tua kini berkurang dibandingkan masa lalu.

"Jika di masa lalu anak akan menerima apa pun yang diberikan oleh orang tua, sekarang tidak selalu demikian," jelas dia.

Baca juga: Mengapa Kasus Pengaturan Skor Sepak Bola Indonesia Masih Terjadi?

Kondisi masyarakat yang materialistis

Ketiga, kondisi masyarakat yang semakin berubah menjadi materialistis, membuat segala sesuatu cenderung dihitung secara rigid.

Dengan begitu, anak akan berpikir bahwa apa yang diberikan kepada dirinya harus sama dengan saudara-saudaranya.

Terlepas dari itu, Rahesli berharap agar kasus-kasus serupa bisa diselesaikan secara kekeuargaan, tanpa perlu menempuh jalur hukum.

"Kasus-kasus seperti ini perlu didorong untuk diselesaikan secara kekeluargaan, untuk memperkuat nilai-nilai keluarga," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com