Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Cita-cita Jokowi di COP26 dan Retorika Pertambangan Indonesia

Kompas.com - 10/11/2021, 11:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Terbaru, banjir bandang yang dipicu oleh limpahan debit air dari kolam bekas tambang yang menerjang 4 Desa dari 3 Kecamatan di kabupaten ini pada awal Juli yang lalu menyebabkan kerugian materil yang tidak sedikit.

Degradasi lingkungan adalah beban yang harus ditanggung oleh negara dan juga masyarakat serta alam itu sendiri.

Jika ini terus berlangsung, pertumbuhan hari ini akan berbalik menjadi beban ekonomi dan bencana lingkungan di masa depan.

Sementara itu, hingga saat ini nyaris tidak ada perusahaan tambang yang diberhentikan (suspended) karena dianggap telah merusak lingkungan.

Perusahaan bahkan tidak pernah sekali pun sekadar mendapatkan peringatan jika mereka tidak melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang.

Pemerintah seolah lumpuh karena telah terkooptasi secara sempurna oleh korporasi. Negara gagal mengimbangi agresivitas modal dan birokrasi yang kesannya cenderung hanyut dengan segala kemewahan yang diterima sebagai ekses dari kapital yang berkeliaran.

Padahal mata seluruh dunia sedang mengamati ini dengan jelas.

Asimetri kekuasaan

Apa yang terjadi hari ini adalah produk dari power asymmetry (asimetri kekuasaan) dalam tata kelola mineral.

Kekuasaan secara de facto didominasi oleh para pemilik modal yang pragmatis, sementara negara cenderung gamang, bahkan kesannya tidak berdaya mengendalikan arah pembangunan yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan.

Asimetri kekuasaan muncul terutama karena pemerintah miskin keterampilan dan pengetahuan mengenai sumberdaya alam yang mereka kuasai, nilai sumberdaya tersebut serta kompleksitas manajemen publik di sektor strategis ini.

Sementara itu, agenda korporasi terus memimpin saluran informasi dan penguasaan pengetahuan. Fenomena ini adalah cikal bakal kutukan sumber daya pada era modern.

Asimetri kekuasaan tersebut dapat diidentifikasi dalam tataran praktis. Kapasitas pengetahuan perusahaan selalu mumpuni untuk menjustifikasi perusakan lingkungan.

Mereka selalu mampu meyakinkan pemerintah untuk dapat terus menunda kegiatan reklamasi bekas lahan tambang-entah sampai kapan.

Birokrasi yang diwakili inspektur tambang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai sebagai petugas pemeriksa aspek keselamatan dan lingkungan hidup di sektor tambang.

Akibatnya, kabarnya selalu muncul ruang-ruang negosiasi yang berlangsung di cafe-cafe, restoran, atau bahkan tempat karaoke.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com