PADA masa kanak-kanak saya gemar menonton pergelaran wayang kulit meski tidak pernah mampu bertahan semalam suntuk sampai pagi hari.
Maka saya sengaja tidur dulu agar pada dini hari saya bisa menyaksikan pergelaran wayang kulit pada puncak keseruannya.
Di dalam pergelaran wayang kulit kerap ditampilkan seorang tokoh yang menarik karena cerewet, bawel, culas, sombong, congkak, jahat, gila hormat, dan haus kekuasaan namun sakti mandraguna dan mahir ilmu perang.
Tokoh menarik itu bernama Dorna. Setelah saya membaca kisah Mahabhrata versi bahasa Inggris dan Jerman ternyata Dorna wayang purwa beda dari Dorna Mahabharata.
Di Mahabharata, Dorna ditampilkan sebagai seorang begawan gagah perkasa dan bersifat kesatria.
Ia dihormati oleh keluarga besar Bharata sebagai panglima sakti mandraguna angkatan bersenjata kerajaan Hastinapura maka ditakuti oleh para kerajaan yang tidak sudi tunduk di bawah kekuasaan Hastinapura.
Dorna lebih dihormati ketimbang Sengkuni dan harkat martabatnya sebagai panglima perang hanya setingkat di bawah Bisma Dewabhrata.
Dalam Mahabharata dikisahkan bahwa Dorna dilahirkan di dalam keluarga brahmana sebagai putra pendeta Bharadwaja.
Alkisah Bharadwaja pergi ke sungai Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari Gretaci yang sangat cantik sedang mandi.
Menyaksikan pemandangan menggairahkan tersebut, sang pendeta dikuasai nafsu, sampai mengeluarkan air mani yang ditampung di dalam sebuah bejana.
Dari cairan tersebut tumbuhlah sebuah janin yang kian berkembang hingga membentuk sesosok bayi. Bayi tersebut kemudian dibesarkan dan diberi nama Dorna.
Dorna semula hidup dalam kemiskinan, tetapi kemudian belajar ilmu perang bersama pangeran Kerajaan Panchala bernama Drupada.
Drupada dan Dorna pun menjadi teman dekat sehingga Drupada berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Dorna apabila ia sudah menggantikan ayahnya sebagai Raja Panchala. Janji yang kemudian diingkari oleh Drupada.
Menurut versi wayang purwa, semula Dorna bernama Bambang Kumbayana, putra Resi Baratmadya dari Hargajembangan, dengan Dewi Kumbini.
Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Dalam perjalanannya mencari Sucitra, Kumbayana tidak dapat menyeberang sungai maka ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama yang dikutuk oleh dewa.