Hartono tidak sembarangan dalam memilih orang untuk dipekerjakan sebagai anak buah. Ia memilih orang yang sudah dikenalnya untuk dapat bekerjasama dan dapat dijadikan anak buahnya.
Meringankan pekerjaan pada hubungan kedekatan adalah salah satu cara yang ditempuh oleh patron.
Jasa yang akan diberikan secara timbal balik oleh patron dan klien digunakan untuk beragam keperluan serta jaminan sosial sehingga memberikan rasa tentram dan nyaman pada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Salah satu anak buah Hartono pernah berujar kalau dirinya memilih profesi sebagai pekerja seks karena kesadaran tanpa paksaan.
Sebelum bekerja sebagai wanita panggilan, dirinya bekerja sebagai babby sitter dan berasal dari keluarga miskin.
Dengan tujuan ingin mengubah nasib, dirinya memilih menjadi anak buah Hartono tanpa diketahui oleh orang-orang di kampung mengenai pekerjaan yang dijalaninya di Jakarta.
Rumah tembok, hewan ternak, sawah dan pemberian rutin ke keluarganya di kampung menjadi kebanggaannya saat dia bekerja bersama Hartono.
Di awal tahun 2000-an masa kejayaan Hartono Prapanca mulai meredup dan semakin tenggelam saat dirinya terbelit hutang dari perbankan.
Usahanya di Semarang dan Surabaya bermasalah. Jika di Semarang karena konflik dalam pengelolaan sebuah hotel yang menjadi tempat praktek prositusinya, sedangkan di Surabaya terkait tindak pidana aborsi yang diduga dilakukan anak buahnya.
Titik nadir masa keemasan Hartono berakhir ketika Planet Bali – tempat one stop entertainment di Bali – yang diobsesikan sejak lama oleh Hartono, disita oleh bank.
Andai Planet Bali terwujud ketika itu, Hartono ingin menawarkan alternatif wisata yang lain di Bali. Jauh lebih terhormat ketimbang wisata malam di Red Light District Amsterdam di Belanda, Phat Pong di Thailand atau Geylang di Singapore.
Harapan Hartono dan dan kenyataan ternyata berbeda jalan. Bangunan megah di tepi jalan by pass Ngurah Rai, Denpasar tersebut, baru beroperasi selama 2 hari tapi keburu dihentikan operasionalnya oleh pemda setempat dan akhirnya disita sebuah bank swasta melalui persidangan yang berlarut-larut.
Kredit Hartono yang semula bernominal Rp 8,5 miliar, beranak pinak mencapai Rp 21 milyar. Persoalan ini yang membuat Hartono masuk dalam “kubangan”.
Seorang teman bercerita, beberapa bulan sebelum Hartono wafat sempat bertemu dengannya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Pria yang dulunya kondang, saat itu berjalan tertatih-tatih karena luka kecelakaan akibat jatuh dari motor.
Hartono terlihat susah dan kepayahan, sama persis ketika dia menyeringai menunjukkan perutnya yang tertusuk saat terlibat perlawanan dalam aksi eksekusi rumah miliknya di Surabaya.
Walau praktik prostitusi sudah lama terjadi, setua usia peradaban manusia dan sulit untuk diberantas, setidaknya perjalanan hidup Hartono memberi pelajaran akan kiprah bisnis “lendirnya”.
Jangan sekali-kali mencari hidup dari eksploitasi sesama manusia. Jangan berkiprah di pekerjaan yang tidak halal. Kubangan bisnis yang dijalaninya membuat Hartono terjerembab ke dalam lubang yang semakin dalam.
Selamat jalan Hartono Prapanca, semoga Sang Pencipta mengampuni segala dosamu. Jika ketemu Tante Dolly van de Mart – perintis berdirinya lokalisasi Dolly Surabaya, lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara– kabarkan kalau lokalisasi Dolly Surabaya dan Kramat Tunggak Jakarta telah lama ditutup.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.