Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Reza AA Wattimena
Peneliti

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Universitas Airlangga, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Universitas Presiden, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara.

Ubud dalam Pelukan Sintesis Jati Diri

Kompas.com - 18/07/2021, 20:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pelinggih (salah satu pusat ritual dan pemujaan Agama Hindu Bali) bersanding dengan arsitektur kontemporer yang modern.

Turis asing, dengan gayanya yang khas, bersanding damai dengan ritual adat Bali di berbagai tepat.

Busana Muslim, khas pendatang dari Jawa, juga bersanding penuh harmoni dengan pluralitas kehidupan Bali yang modern sekaligus menghargai tradisi.

Indonesia jelas harus belajar membuat sintesis semacam ini, terutama terkait agama. Agama Islam haruslah menjadi milik Indonesia, dan bukan Indonesia yang semakin meniru budaya Arab.

Agama Kristen dan Katolik juga harus menjadi milik Indonesia, dan bukan kita yang terus meniru gaya Eropa maupun Amerika.

Agama Buddha juga harus menjadi milik Indonesia, dan bukan kita yang terus meniru gaya China ataupun Thailand.

Hanya dengan begini, Indonesia menjadi bangsa yang besar, karena keterbukaannya pada dunia, maupun cintanya pada adat tradisionalnya.

Mengapa Ubud mampu membuat sintesis semacam itu? Pertanyaan ini tentu penting untuk dijawab. Hanya dengan begitu, kita sungguh bisa belajar darinya. Ada tiga hal yang muncul di kepala.

Pertama, bersama beberapa teman, yang sudah seperti keluarga, saya berkeliling berbagai Pura di Bali.

Saya mengikuti ritual mereka dengan penuh rasa hormat. Saya tak sungguh mengerti. Namun, saya tetap terbuka.

Saya mencoba menangkap inti ritual Hindu Bali dengan intuisi filosofis yang saya punya.

Satu hal yang terus muncul, yakni keheningan. Ia adalah pengalaman tanpa kata. Ia adalah persentuhan langsung dengan Tuhan, tanpa perantaraan kata maupun konsep.

Ritual Hindu Bali adalah alat untuk mencapai keheningan yang sempurna. Keheningan adalah pengetahuan paripurna.

Ia melampaui pola pikir manusia yang cenderung dualistik, yakni memisahkan dunia ke dalam baik buruk, benar salah, dan sebagainya. Ini kiranya seperti kebijaksanaan Yahudi kuno: heninglah, dan temukan Tuhan di dalam dirimu.

Dua, keheningan adalah sumber kebijaksanaan. Orang yang hening mampu memahami dunia sebagaimana adanya. Ia hidup jauh dari prasangka dan pola pikir berlebihan yang merusak. Lalu, keputusan-keputusan hidup pun dibuat dengan kejernihan dan kebijaksanaan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com