Agama dan budaya yang ribut akan jauh dari kebijaksanaan. Agama yang ritualnya bising, dan menganggu kehidupan sekitar, tidak mengenal arti keheningan.
Ia juga jauh dari kejernihan. Ia cenderung tertutup pada perubahan, dan merusak budaya yang sudah ada.
Tiga, keheningan membuahkan keterbukaan. Hal-hal baru dipeluk, tanpa kehilangan akar jati diri.
Perbedaan dipahami sebagai warna warni dunia ciptaan. Inilah kiranya yang membuat Ubud begitu modern sekaligus begitu tradisional pada saat yang sama.
Namun, Bali kiranya tetap perlu berhati-hati. Budaya patriarki, yang mengecilkan peran perempuan di dalam kehidupan, harus terus ditanggapi dengan kritis dan bijak.
Perempuan adalah bagian dari peradaban manusia. Peran dan kedudukannya pun harus dihormati seutuhnya.
Kini, Ubud kiranya perlu bersabar. Cengkraman pandemik belum berakhir. Kebijakan pemerintah masih terus merusak ekonomi dan moral rakyat.
Di tengah ketidakpastian, sintesis harus terus bergerak. Sesama warga harus saling membantu, karena pemerintah cenderung abai mengerjakan kewajibannya.
Kiranya, Ubud juga bisa belajar dari kebijaksanaan Buddhis kuno. Ketika segalanya tak pasti, teruslah berbuat baik. Kebaikan adalah kunci untuk keselamatan jiwa dan raga.
Hai warga Ubud, dan juga seluruh warga Indonesia, teruslah menebar upaya-upaya baik dengan segala kemampuan yang ada, walaupun buahnya belum sungguh tampak di depan mata.
Dalam keheningan, saya meninggalkan Ubud, dan melanjutkan perjalanan…
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.