Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
Merangkum dari laman resmi Pfizer dan Moderna, kedua vaksin ini memakai teknologi terbaru berbasis versi sintetis molekul virus SARS-CoV-2 yang disebut "messenger RNA" atau disingkat mRNA.
Memang betul, Pfizer dan Moderna tidak mengandung adenovirus merupakan virus SARS-CoV-2 yang dimatikan.
Namun, mRNA dalam kedua vaksin inilah yang berperan dalam melawan infeksi virus corona.
Itu bukanlah aplikasi komputer, tetapi resep genetik untuk memproduksi protein lonjakan virus. Hasilnya, sel dapat memanfaatkannya untuk membuat protein.
Selanjutnya, mRNA menginstruksikan sel-sel di dalam tubuh untuk membuat bagian tertentu dari protein lonjakan virus.
Ketika sistem kekebalan mengenalinya sebagai benda asing, maka ia akan bersiap untuk menyerang ketika infeksi yang sebenarnya terjadi.
Mengenai akurasi tes PCR, asisten profesor patologi Universitas Texas-Health sekaligus presiden Kolase Ahli Patologi Amerika (CAP), Dr. Emily Volk menyebut hasilnya bisa sangat akurat.
"Akan cukup mendekati 100 persen akurat," kata Volk mengutip Healthline.
Untuk mendapatkan hasil yang paling akurat, tes RT-PCR harus dilakukan 8 hari setelah dugaan infeksi, untuk memastikan ada cukup bahan virus untuk dideteksi.
Sampelnya diambil dari liur dari tenggorokan dan hidung. Kemudian, tes molekul dilakukan untuk mendeteksi materi genetik dari organisme tertentu, yaitu virus.
Sementara itu, tangkapan gambar yang menyebut nama Dr. Peter McCullough juga mengandung informasi yang keliru.
McCullough adalah seorang ahli jantung asal AS. Ia pernah menyebar klaim palsu tentang vaksin Covid-19.
Melansir AFP, beberapa klaim yang ia sebutkan, seperti orang di bawah 50 tahun tidak butuh vaksin, begitu juga dengan orang yang sudah sembuh dari Covid-19.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyarankan vaksinasi untuk kedua kategori yang disebutkan itu.
Lebih dari 174 juta dosis vaksin Covid-19 telah diberikan di AS dan 7,4 juta telah diberikan di Kanada.