KIAN maraknya kecenderungan kita bersibuk-ria dengan gawai tanpa hirau lagi dengan kondisi sekitar bahkan menjurus pada pola anti sosial, ternyata kian masif, khususnya di masa pandemi Covid-19 yang telah menginjak tahun keduanya menerpa seantero bumi.
Banyak penelitian menunjukkan meruyaknya post traumatic stress disorder (PTSD) yang menjangkiti masyarakat selama mengarungi badai pandemi.
Berasyik-masyuk dengan gawai di tengah kian terbatasnya gerak kita secara fisik bercengkerama dengan sesama menjadikan fenomea phubbing juga mengemuka.
Dalam konteks ini ada baiknya kita cermati riset yang dilakukan para ilmuwan dari Jeman dan Amerika Serikat dan dipublikasikan melalui Frontiers in Psychology Desember 2020 lalu.
Penelitian itu menandaskan, "...Our findings indicate that stress was linked to more hedonic and less eudaimonic media use, as well as more avoidant and escapist media-based coping. Anxiety, on the other hand, was linked to more media use in general, specifically more eudaimonic media use and a full range of media-based coping strategies... (AL, Eden et.al.)."
Selalu ada elemen-elemen positif dalam suatu fenomena, pun demikian dengan aspek negatifnya.
Penelitian yang melibatkan sekitar 450 mahasiswa dari dua perguruan tinggi besar di Amerika Serikat sebagai responden menemukan bahwa berkegiatan secara online menggunakan gawai kian masif, kian menyita banyak waktu dan energi dan berkecenderungan mengalihkan perhatian kita dari nuansa-nuansa lain kehidupan.
Kendati, tentu saja, tak dimungkiri berbagai impak positif yang bisa ditangguk darinya.
Problem nan dilematis makin meruncing tatkala penggunaan gawai nan masif tersebut mulai menjauh dari tujuan awalnya dan kian mengarah pada pelarian (escapism) dari kejenuhan realitas keseharian yang mesti dihadapi: tak boleh ke sekolah atau kampus, tak bisa berinteraksi secara massal, tak boleh mudik berjumpa handai tolan, dan sebagainya.
Makin runyam kala peluang ini dimanfaatkan oleh para pembuat aneka konten di berbagai kanal media sosial yang menawarkan aneka gemebyar nuansa hiburan tanpa hirau nilai muatan yang diunggahnya.
Inilah yang dikenal sebagai pelarian digital (digital escapism) dalam ranah ilmu psikologi.
Banyak contoh bisa kita temukan secara gamblang dalam keseharian hidup kita, baik sebagai individu maupun anggota kelompok atau masyarakat.
Hal ini ditangkap sebagai peluang manis oleh sebagian penggiat dunia digital guna meraup rupiah (atau dolar AS) guna kian menggelembungkan kekayaannya untuk terus mencapai taraf "sultan".
Sebagai contoh kasus kita bisa berkaca dari konten Aurel keguguran hingga tulisan ini dibuat, telah mendulang lebih 10 juta viewers dan menjadi trending Youtube nomor dua. Baca juga: Aurel Hermansyah Keguguran, Atta Halilintar: Sampai Jumpa di Surga Anakku
Berikutnya, momen wafat dan pemakaman ayahanda Ria Yunita alias Ria Ricis yang ditayangkannya telah merengkuh 2,6 juta viewers dan 281 ribu likes. Baca juga: Ria Ricis Buat Konten Kematian Ayahnya, Dikritik Netizen dan Dibandingkan dengan Oki Setiana Dewi
Belum lagi berbagai konten "aneh bin ajaib" yang banyak kita temukan mulai dari emak-emak yang berjoged di jalan tol, ulah sopir truk ugal-ugalan, memakai help dari penanak nasi, dan sebagainya. Semuanya bermuara pada tujuan untuk terkenal, agar beroleh banyak follower, dan seterusnya.
Isu-isu terkait apapun bisa menjadi konten dan meraih banyak penonton yang pada gilirannya menggemukkan pundi-pundi rupiah para youtuber-nya adalah fenomena yang kian jamak saat ini.