Peter juga mengirim beberapa catatan atau kutipan dari Babad Diponegoro yang ditulis di Manado. Tentang keberangkatan dari Jakarta dan selama awal pelayaran dilukiskan oleh Pangeran Diponegoro seperti berikut ini.
“Layar terkembang dan (kami) meninggalkan Batavia menuju Manado, tapi tidak ada angin, sehingga kapal berjalan sangat lambat. Banyak dari orang laknat itu (serdadu dan awak kapal Belanda jatuh sakit dan modar di kapal.”
Perjalanan laut yang saya alami, kapal Watudambo singgah di banyak pelabuhan. Sehingga kebosan dan mabok laut bisa saya kurangi. Itu pun masih memuakkan bagi saya.
Maka saya bisa membayangkan betapa menyedihkan pelayaran enam minggu yang dirasakan Diponegoro tanpa ada pelabuhan menjadi persinggahan, kecuali pelabuhan akhir, Manado.
Pangeran Diponegoro dalam keadaan sakit malaria (demam dan dingin) selama perjalanan. Ia mendapat sakit malaria sejak berada di tempat gerilya di Bagelen, kemudian, perundingan dan penangkapannya di Magelang hari Minggu 28 Maret 1830.
Demam dan dingin itu ia bawa dalam perjalanan laut Semarang Jakarta selama tiga hari. Sakit itu tetap ia rasakan selama satu bulan di Jakarta.
Lima hari pertama pelayaran Diponegoro menuju Manado, empat dari 50 orang yang mendapat tugas mengawal Diponegoro, meninggal dunia. Pangeran sendiri mengira ia akan meninggal dalam pelayaran ini, tapi ternyata sampai juga di Manado. Selama perjalanan pangeran banyak bercerita dan berdiskusi dengan Knoerle.
Tanggal 12 Juni 1830, kapal Pollux smpai Manado dan Diponegoro ditempatkan di benteng Nieuw Amsterdam. Benteng itu dibom oleh Amerika Serikat 7 Desember 1944, menjelang Jepang menyerah .
Dosen sejarah Universitas Sam Ratulangi Manado, Bode Talumewo, memperkirakan lokasi benteng itu di antara Taman Kesatuan Bangsa dan Pasar Swalayan Jumbo di Jalan Suprapto, pusat keramaian ibukota Sulawesi Utara tersebut.
Di awal tinggal di Manado, Diponegoro mendapat uang saku 600 gulden per bulan dari pemerinatahan Hindia Belanda. Tapi beberapa bulan kemudian diturunkan menjadi 200 gulden per bulan. karena pemerintah Hindia Belanda di Manado curiga dengan uang saku itu Diponegoro bisa melakukan perang lagi.
Satu tahun kemudian di benteng itu, Diponegoro menuliskan otobiografinya.
Karya besar, otobiografi atau Babad Diponegoro, itu dimulai dengan kalimat-kalimat puitis seperti berikut :”Aku bentangkan perasaan hatiku dalam irama Mijil (yang pedih). Diciptakan untuk menghibur hasrat hati, dibuat di kota Manado tanpa disaksikan siapa pun, kecuali oleh rahmad Hyang Agung”.
Kesedihan Pangeran Diponegoro mungkin masih dirasakan bila beliau menyaksikan generasi muda Nusantara ini tidak banyak mengenal sejarah dirinya. Publikasi dirinya juga masih minim.
“Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal ......,” demikian kata sejarahwan itu.
Menjelang 27 Mei 2021 lalu, saya kontak ke seorang pegawai Istana Kepresidenan yang saat ini mengurusi barang-barang seni di istana. Inisial petugas istana ini adalah SEW. Saya bertanya pada Ibu SEW ini, apakah lukisan Diponegoro masih dipasang di Istana Kepresidenan?
Sang petugas istana langsung menjawab begini. “Untuk keperluan apa pertanyaan ini. Tolong kirim surat saja ke istana,” demikian kira-kira jawabnya.
Waduh, betapa rumitnya prosedur birokrasi istana kepresidenan saat ini untuk memberi jawaban atas pertanyaan kecil ini.
Berapa lama saya akan mendapat jawaban tentang itu ada atau tidak lukisan sosok Pangeran Diponegoro di Istana Kepresidenan saat ini?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.