LEMBAGA riset di Indonesia sudah ada sejak era kolonial. Setelah kemerdekaan, terjadi kekosongan riset karena para peneliti Belanda pulang ke negaranya.
Pada 1952 Presiden Sukarno menugaskan Dokter Sarwono Prawirohardjo untuk membangun institusi riset. Sarwono adalah Ketua Jong Java tahun 1927 dan anggota KNIP setelah Indonesia merdeka.
Ia adalah dokter kandungan yang pada 1947 membantu kelahiran Megawati Soekarnoputri dan Meuthia Hatta di Yogyakarta.
Lembaga riset baru terbentuk melalui Undang-Undang Tahun 1956 yaitu MIPI (Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia) dipimpin oleh Sarwono Prawirohardjo.
Pada 1962 ada Durenas (departemen urusan research nasional). MIPI berada di bawah nauangan Durenas. Ketua MIPI adalah deputi Menteri Riset.
Sukarno juga mengirim mahasiswa ke berbagai negara. Presiden memiliki perhatian sangat tinggi terhadap kemajuan teknologi. Pada 1965 Djali Ahimsa dari BATAN berkunjung ke Tiongkok untuk menjajaki kerjasama dalam bidang nuklir. Sayang meletus Peristiwa 1965 menyebabkan hubungan ini tidak berlanjut.
Dengan pergantian pemerintahan setelah tahun 1965, MIPI dibubarkan oleh MPRS dan dibentuklah LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada1967 dengan Keputusan Presiden. LIPI dipimpin oleh Sarwono Prawirohardjo.
LIPI terdiri dari beberapa lembaga penelitian dan sekaligus menjadi pembimbing lembaga penelitian secara nasional.
Sejak awal pembentukannya, dalam pemikiran para pendirinya, sudah ada keinginan untuk meningkatkan LIPI menjadi lembaga yang lebih besar menaungi lembaga riset yang ada di Indonesia termasuk di kementerian dan Universitas. Kedudukannya semacam Academy of Sciences yang ada di Uni Soviet, negara Eropa Timur dan Tiongkok.
Model ini dipilih karena penanganan riset di AS dan Eropa Barat lebih mendayagunakan dukungan swasta, sementara pada negara sosialis pendanaan dari pemerintah. Presiden (atau perdana menteri) bertanggungjawab dan langsung memimpin riset.
Aktivitas lembaga ini sempat absen beberapa tahun pada awal Orde Baru. LIPI kembali menggeliat pada 1973 ketika Soemitro Djojohadikusumo ditunjuk menjadi Menteri Negara Riset.
Pada 1978 BJ Habibie menjadi Menteri Riset merangkap Kepala BPPT. Pada masa Habibie sempat terjadi kenaikan tunjangan fungsional peneliti. Seorang APU (ahli peneliti utama) memperoleh tunjangan yang lebih besar dari tunjangan struktural eselon dua.
Habibie juga memberikan beasiswa lulusan SMA menempuh pendidikan sampai doktor di luar negeri. Pada masa Habibie yang menonjol adalah competitive advantage ketimbang comparative advantage.
Maka program pembuatan pesawat terbang yang dianggap menghasilkan nilai tambah sangat tinggi menjadi andalan. Apakah ini menguntungkan bagi keseluruhan pembangunan iptek secara nasional, tentu dapat diperdebatkan.
Pada era Habibie akhirnya terbentuk AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) tahun 1990, kumpulan dari pakar berbagai bidang ilmu. Namun lembaga tersebut bukanlah seperti yang diinginkan para pendiri LIPI, tidak jelas kedudukan dan wewenangnya dalam pengembangan iptek nasional.