Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Masih Ada yang Percaya Penipuan Bermodus Penggandaan Uang?

Kompas.com - 31/03/2021, 19:04 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

Kasus penipuan dengan modus penggandaan uang sudah beberapa kali terungkap.

Salah satu yang paling terkenal adalah kasus pendiri Padepokan Dimas Kanjeng di Probolinggo, Jawa Timur, yakni Taat Pribadi.

Diberitakan Kompas.com, 30 September 2016, sejak 2015-2016, setidaknya ada tiga laporan terkait Taat Pribadi ke Polda Jawa Timur atas dugaan penipuan.

Pertama, dengan kerugian Rp 800 juta, kemudian Rp 900 juta, dan terakhir Rp 1,5 miliar.

Ada pula laporan yang masuk ke Bareskrim Polri. Korban mengaku tertipu hingga Rp 25 miliar.

Baca juga: Tips untuk Cegah Rekening Dibobol melalui Modus Penipuan Online

Setelah adanya laporan itu, Bareskrim Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan memanggil sejumlah saksi, yakni pihak pelapor dan beberapa warga Probolinggo.

Ternyata, modus operasinya seperti jaringan Multi Level Marketing (MLM). Korban yang direkrut, menyetorkan uang kepada Taat Pribadi.

Jika ingin uangnya berlipat ganda, korban tersebut harus mengajak beberapa orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Agar korbannya percaya, setelah uang disetor, Taat Pribadi memberikan satu kotak berisi baju, dan cincin yang disebut bisa berubah menjadi emas.

Selanjutnya, akan muncul uang jika korban ikhlas dan meyakini bahwa uang itu bisa berlipat ganda.

Baca juga: Sering Terima SMS Penawaran atau Penipuan? Ini Cara Melaporkannya...

Mengapa sebagian masyarakat masih percaya penggandaan uang?

Dosen Pendidikan Sosiologi Antropologi Universitas Sebelas Maret Nurhadi mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat sebagian masyarakat Indonesia bisa terjebak penipuan bermodus penggandaan uang.

"Saya rasa yang paling dominan adalah persoalan dengan lemahnya literasi pada masyarakat kita. Jadi ada kecenderungan memang, masyarakat kita ini kurang suka membaca informasi atau pesan, itu secara utuh," kata Nurhadi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (31/3/2021).

Nurhadi mengatakan, masyarakat masih lebih mengandalkan pesan-pesan yang bersifat lisan, terutama yang dalam penyampaiannya menarik minat, seperti penawaran hadiah besar.

"Dan literasi yang lemah itu tidak melulu menjadi monopoli masyarakat kelas bawah. Bahkan sebagian dari masyarakat yang tergolong kalangan atas pun juga ikut tertipu atau berada di dalam pusaran itu," kata dia.

Baca juga: Viral Unggahan soal Modus Penipuan dengan Pemberian Nomor ATM, Ini Penjelasannya...

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com