KOMPAS.com - Kabar duka menyelimuti dunia sastra. Nawal El Saadawi, seorang sastrawan yang dikenal dengan perjuangannya atas hak perempuan, meninggal dunia pada Minggu (21/3/2021).
Dilansir dari CNN, berdasarkan surat kabar yang dikelola Pemerintah Mesir bernama Al-Ahram, El Saadawi meninggal dunia pada usianya yang ke-89 tahun.
Di hari kematiannya, akun Twitter resmi @NawalElSaadawi1 mengunggah sebuah twit "Aku akan mati, dan kamu akan mati. Yang penting adalah bagaimana hidup sampai kamu mati," tulisnya.
'I will die, and you will die. The important thing is how to live until you die' #NawalElSaadawi #????_????????
— ???? ???????? (@NawalElSaadawi1) March 21, 2021
Kabar berpulangnya Nawal El Saadari menjadi duka bagi penggemar buku dan pemikiran El Saadawi.
Nawal el saadawi.
Bu, berkatmu aku bisa belajar lebih peka terhadap perempuan2 di sekitarku. Belajar mencintai diri sendiri. mencintai jati diri.Tak cuma soal gerakan feminisme dan perlawanan perempuan, tulisanmu memberikan bara api dalam ruh dan akal pikirku. Selamat jalan. pic.twitter.com/plpj7k6xa2
— ???? (@NiaZayn1) March 21, 2021
Pertama kali tau Nawal el Saadawi dan baca bukunya saat kuliah Sejarah Afrika. Melalui novelnya, dia gambarkan kelamnya masyarakat Afrika - terutama perempuan.
Selamat jalan Nawal el Saadawi. Raga bisa lenyap, tapi apa yg dituliskan akan abadi. pic.twitter.com/sQV62Zh4xx
— Virdika Rizky Utama (@virdikaa) March 22, 2021
Ia akan dikenang sebagai seorang feminis sejati, lewat karyanya yang monumental, mencabik-cabik emosi pembacanya.
Selamat jalan Nawal El Saadawi (1931-2021)https://t.co/uY4rF6iJMO
— nandito (@putrananditoo) March 21, 2021
Bagaimana kehidupan El Saadawi dan perjuangannya dalam menyuarakan hak-hak perempuan?
Baca juga: Profil Samia Suluhu Hassan, Presiden Perempuan Pertama Tanzania
Dilansir dari BBC, keluarga El Saadawi sempat mencoba memenikahkannya saat usia El Saadawi masih 10 tahun.
Ia menolak. Ibunya pun ada di sisinya dan mendukung El Saadawi. Orangtuanya mendukung El Saadawi dalam dunia pendidikan.
Sejak kecil ia sudah sadar, anak perempuan kurang dihargai daripada anak laki-laki.
Pada suatu hari, neneknya mengatakan bahwa seorang anak laki-laki berharga setidaknya 15 perempuan dan perempuan adalah penyakit busuk.
Pengalaman traumatis semasa kecil lainnya adalah mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) pada usia 6 tahun.
Dalam bukunya, The Hidden Face of Eve, dia menggambarkan menjalani prosedur yang menyakitkan di lantai kamar mandi, saat ibunya berdiri di sampingnya.
Baca juga: Profil Penemu Seismograf: John Milne
El Saadawi menyelesaikan novel pertamanya pada usia 13 tahun.
Ia lulus dengan gelar kedokteran dari Universitas Kairo pada 1955 dan bekerja sebagai dokter. Sampai akhirnya mengambil spesialisasi di bidang psikiatri.
Karirenya berlanjut sampai kemudian menjadi direktur kesehatan masyarakat oleh Pemerintah Mesir.
Di sela kesibukannya, El Saadawi tetap menulis. Ia pun menerbitkan buku nonfiksi berjudl Women and Sex, yang mengulas tentang hak perempuan, penindasan seksual, dan FGM.
Bukunya kontroversial dan pada 1972. Pemerintah memecat El Saadawi karena buku itu.
Setahun berikutnya, Majalah Health yang dirikan oleh El Saadawi juga dibredel.
Namun, represi pemerintah tak berhenti untuk mengungkapkan kebenaran dan perjuangannya atas hak perempuan di Mesir.
Pada 1975, El Saadawi menerbitkan novel Perempuan di Titik Nol, yang diangkat dari kisah kehidupan nyata seorang wanita terpidana mati yang ditemuinya.
Selanjutnya, pada 1977 terbit dokumentasi Hidden Face of Eve, di mana dia mendokumentasikan pengalamannya sebagai seorang dokter desa yang menyaksikan pelecehan seksual, pembunuhan demi kehormatan dan prostitusi.
Baca juga: Profil Penemu Oven Microwave: Percy Spencer
Dilansir dari Al Jazeera, kelompok agamis menggambarkan El-Saadawi sebagai kekuatan penghancur dalam wacana sosial dan budaya Mesir modern.
Pada September 1981, El Saadawi ditangkap dengan tuduhan pembangkang di masa pemerintahan Presiden Anwar Sadat. Ia ditahan di penjara selama tiga bulan.
Bui tak menghentikannya. Selama di penjara, El Saadawi menulis memoarnya di atas kertas toilet, menggunakan pensil alis yang diselundupkan kepadanya oleh seorang pekerja seks yang dipenjara.
Setelah Presiden Sadat dibunuh, El Saadawi dibebaskan.
Dia telah menulis lebih dari 24 buku dalam bahasa Arab. Akan tetapi, karya-karyanya disensor dan buku-bukunya dilarang di Mesir.
Pada tahun-tahun berikutnya, dia menerima ancaman pembunuhan dari fundamentalis agama, dibawa ke pengadilan, dan akhirnya diasingkan di Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Profil Penemu Popok: Marion Donovan
Pada 1982 , ia mendirikan Asosiasi Solidaritas Perempuan Arab dengan El Saadawi sebagai presidennya.
Akan tetapi, pada Juni 1991, Pemerintah Mesir menutup paksa asosiasi tersebut dan mengalihkan dana asosiasi ke Asosiasi Perempuan Islam
El-Saadawi bekerja sebagai profesor tamu di Duke University, di AS, antara 1993 dan 1994 dan mengepalai Program Wanita di UN-ECWA, di Beirut.
Pada Juni 2001 El Saadawi didakwa oleh pengadilan Mesir atas tuduhan ajaran sesat di Kairo.
Seorang pengacara Mesir, Nabil al-Wahsh, mengajukan pengaduan terhadapnya karena dianggap tidak menghormati agama.
Tak menemukan bukti kuat, pengadilan urusan sipil Kairo pun membebaskannya pada 30 Juli 2001 dan membatalkan semua dakwaan terhadapnya.
El Saadawi sempat kembali ke Mesir, negara yang dicintainya pada 1996. Kepulangannya langsung menimbulkan keributan.
Ia sempat mencalonkan diri untuk menjadi presiden dalam pemilihan umum 2004. Ia bahkan berada di Lapangan Tahrir Kairo untuk melakukan pemberontakan tahun 2011 melawan Presiden Hosni Mubarak.
El Saadawi sangat vokal terhadap doktrin agama yang menegasikan hak perempuan, kolonialisme, dan kemunafikan 'barat'.
Tak hanya Islam, yang jadi agama mayoritas warga di Mesir, ia bahkan mengkritik semua agama.
Atas karya dan pemikirannya, El Saadawi menerima banyak gelar kehormatan dari universitas di seluruh dunia.
Pada 2020, majalah Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 Women of the Year dan mendedikasikan sampul depan untuknya.
Earlier this year I was commissioned to paint the brilliant Egyptian feminist Nawal El Saadawi for TIME Magazine for the 100 Women of the Year project. Here are a few in progress shots.
Nawal El Saadawi, 2020, 100 x 80 cm, Available (please DM) #nawalelsaadawi #time #portrait pic.twitter.com/XB93TtivVT
— sarah jane moon (@sarahjane_moon) May 26, 2020
El Saadawi kerap mengkritik kelompok feminis yang memisahkan antara kesetaraan perempuan dengan kapitalisme.
"Mereka tidak menyadari hubungan antara pembebasan perempuan di satu sisi dan ekonomi dan negara di sisi lain. Banyak yang menganggap hanya patriarki sebagai musuh mereka dan mengabaikan kapitalisme korporat," kata Saadawi.
Di akhir kehidupannya, El Saadawi menghabiskan tahun-tahunnya di Kairo bersama dengan putra dan putrinya.
Selamat jalan dan terima kasih Nawal El Saadawi!
Baca juga: Profil Irene Sukandar, Grand Master Indonesia yang Akan Hadapi Dadang Dewa Kipas
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.