INDONESIA adalah negara penghasil sawit terbesar di dunia. Pada 2019, dihasilkan 47 juta ton CPO (Crude Palm Oil) dari 16,3 juta hektare lahan.
Untuk mendukung sawit, beragam kebijakan dibuat pemerintah. Antara lain, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, PP Nomor 24 tahun 2015 tentang Badan Pengelola Dana Perkebunan dan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Evaluasi Perijinan dan Peningkatan Produktivitas Sawit.
Hanya saja, berbagai peraturan yang diterbitkan nyatanya tidak menjamin perbaikan nasib petani sawit. Petani sawit masih miskin dan lemah. Padahal mereka menguasai 42 persen lahan sawit.
Peraturan-peraturan itu gagal menyelamatkan petani sawit. Bukan itu saja, pola pengelolaan perkebunan yang diharapkan mendekatkan kesejahteraan ke petani sawit, alih-alih tercapai malah semakin menempatkan petani di jurang kemelaratan.
Perkebunan sawit rakyat dikelola melalui dua model. Kemitraan antara petani selaku plasma dengan perusahaan dan model swadaya yang tidak bermitra. Petani swadaya mengelola lahan dengan dana mandiri dan dikerjakan sendiri oleh petani.
Kedua model kemitraan ini sama-sama tidak memiliki posisi tawar kuat, lemah dan miskin. Pertanyaan kemudian adalah mengapa nasib petani sawit tidak membaik di negeri lumbung sawit?
Pola kemitraan yang mewajibkan perusahaan sawit membangun plasma sebesar 20 persen dari luas konsesi dan berada di luar IUP (Ijin Usaha Perkebunan) dan HGU (Hak Guna Usaha) sangat merugikan masyarakat yang ingin memperoleh kebun sawit.
Perusahaan sangat diuntungkan dengan pengaturan ini sebab tidak mengurangi sedikit pun luas konsesi mereka.
Ini kemudian memaksa masyarakat menyerahkan lahan secara masif ke tangan perusahaan sebab pengusaha yang akan membangun kebun para petani untuk dijadikan kebun plasma. Padahal lahan yang diserahkan tersebut adalah tanah terakhir mereka untuk pangan.
Sementara pengaturan kewajiban perusahaan untuk membangun kemitraan dengan petani yang sudah ada (existing smallholders) juga tidak dijalankan di tingkat tapak dan merugikan 5,5 juta petani swadaya sebab akhirnya mereka menjual ke tengkulak yang bersekutu dengan perusahaan dan memperoleh harga rendah.
Awalnya, pemerintah memang membuat skema kemitraan agar masyarakat sekitar konsesi besar memperoleh kesejahteraan (trickledown effect). Namun situasinya tak seperti yang diskemakan. Nasib petani tak berubah.
Tantangan terbesar petani skala kecil adalah berhadapan dengan individual grower’s yang menguasai lahan di atas 25 hektare hingga 250 hektare. Kehadiran mereka menghalangi kemitraan para petani kecil dengan pabrik di sekitarnya.
Masalahnya mayoritas berlahan besar ini dikendalikan elite dan pebisnis lokal yang bermitra dengan korporasi.
Beberapa praktik di lapangan dalam pembangunan 20 persen seperti yang terjadi di beberapa tempat yakni di Kabupaten Sanggau, petani yang bermitra dengan perusahaan Simedarby menyerahkan 7,5 hektare lahannya supaya memperoleh 2 hektare lahan plasma.
Di Kabupaten Sekadau, masyarakat menyerahkan 6 hektare kepada PT MPE agar memperoleh 2 hektare lahan plasma.