Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Ibu Hamil Harus Rapid Test Meski Pecah Ketuban, Bagaimana Protokolnya?

Kompas.com - 23/08/2020, 19:49 WIB
Nur Rohmi Aida,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Kasus ibu hamil yang diduga kehilangan bayinya akibat terlambat mendapat pertolongan karena diharuskan rapid test terlebih dahulu terjadi di Nusa Tenggara Barat.

Mengutip dari Kompas.com (23/8/2020) hal itu menimpa Gusti Ayu Arianti (23).

Gusti bercerita, dirinya masih diharuskan melakukan rapid tes saat ketubannya telah pecah dan dirinya mengeluarkan darah.

Kejadian yang menimpa Gusti tersebut kini tengah diselidiki lebih lanjut.

Lantas, sebenarnya bagaimana protokol ibu hamil dan melahirkan di tengah situasi pandemi virus corona saat ini?

Baca juga: Ini Kronologi Kasus Arianti yang Harus Rapid Test Meski Pecah Ketuban, Menurut Dinkes

Protokol kesehatan

Protokol mengenai layanan ibu hamil selama pandemi tertuang dalam Protokol Petunjuk Praktis Layanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir Selama Pandemi Covid-19 nomor B-4 yang dikeluarkan pada 5 April 2020 oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Protokol tersebut masih berlaku dan dapat digunakan hingga sekarang.

“Iya masih sesuai dengan protokol tersebut,” ujar Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito dikonfirmasi Kompas.com Minggu (23/8/2020).

Dalam peraturan tersebut terdapat sejumlah protokol pelayanan yang diberikan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) kepada ibu hamil.

FKRTL sendiri meliputi rumah sakit rujukan Covid-19, Rumah Sakit Umum (RSU) dan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA).

Secara lengkap, berikut ini protokol pelayanan rumah sakit mulai dari saat ibu hamil memeriksakan kandungannya, saat persalinan hingga sesudah bayi lahir.

Baca juga: Tangis Arianti Pecah, Bayinya Meninggal, Terlambat Ditangani karena Harus Rapid Test Covid-19

Pemeriksaan Kehamilan

Berikut ini protokol pelaksanaan pelayanan bagi ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di rumah sakit:

Pemeriksaan rapid test dilakukan kepada Ibu hamil setiap kali berkunjung, kecuali kasus rujukan yang telah dilakukan rapid test atau telah terkonfirmasi Covid-19.

Ibu hamil dengan hasil skrining rapid test positif atau terkonfirmasi Covid-19 atau didiagnosa PDP atau suspek dilayani oleh dokter yang wajib menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) level-2. 

Ibu hamil dengan hasil skrining rapid test reaktif, jika memungkinkan, dilakukan pengambilan spesimen dan pemeriksaan PCR, serta penetapan statusnya (positif atau non-Covid-19).

Jenis layanan ibu hamil sesuai pedoman Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) untuk pemeriksaan ANC.

Jika tidak ada indikasi rawat inap dan tidak ada penyulit kehamilan lainnya, maka kunjungan pemeriksaan kehamilan wajib berikutnya, adalah pada satu bulan sebelum taksiran persalinan, atau sesuai nasihat dokter dengan didahului perjanjian untuk bertemu.

Jika memungkinan, ibu hamil disarankan untuk juga melakukan konsultasi dengan menggunakan aplikasi telemedicine (SEHATI tele-CTG, Halodoc, Alodoc, Teman Bumil) dan edukasi berkelanjutan melalui SMSBunda).

Ibu hamil diminta mempelajari buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk mengenali tanda bahaya. Jika ada tanda bahaya ibu harus segera memeriksakan diri ke RS.

Baca juga: Duduk Perkara Ibu Hamil Harus Rapid Test Meski Pecah Ketuban dan Bayi Pun Meninggal

Persalinan

Adapun untuk protokol layanan persalinan di rumah sakit yakni:

1. Rapid test wajib dilakukan pada ibu hamil sebelum bersalin, kecuali kasus rujukan yang telah dilakukan rapid test atau telah terkonfirmasi Covid-19

2. Ibu hamil in-partu dengan hasil skrining rapid test positif tetap dilakukan pengambilan spesimen dan pemeriksaan PCR, serta penetapan statusnya (positif atau non-Covid-19)

3. Persalinan per vaginam dengan rapid test negatif dan tidak didiagnosa sebagai ODP/PDP dilayani oleh bidan/dokter menggunakan APD level-2

4. Persalinan per vaginam dengan rapid test positif atau terkonfirmasi Covid-19 atau telah didiagnosa OTG/ODP/PDP dilayani oleh dokter yang wajib menggunakan APD level-3

5. Persalinan Sectio Cesaria (per abdominam), penolong persalinan menggunakan APD level 3 tanpa melihat status Covid-19

6. Bahan habis pakai dikelola sebagai sampah medis infeksius dan dimusnahkan dengan insinerator.

7. Alat medis bekas pakai untuk pakai ulang diproses sesuai pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS)

8. Tempat bersalin dibersihkan setiap kali habis pakai sesuai pedoman PPIRS

9. Ventilasi ruang bersalin dipastikan yang memungkinkan memiliki sirkulasi udara baik dan terkena sinar matahari.

Baca juga: 28 Triliun Ton Es di Bumi Menguap Kurang dari 30 Tahun, Apa Dampaknya?

Paska persalinan

Beberapa protokol pelayanan paska persalinan yakni:

1. FKRTL memberikan pelayanan KB segera setelah persalinan. Jika tidak bersedia, diberikan konseling KB dan nasihat

2. Bayi yang dilahirkan dari ibu bukan ODP, PDP atau terkonfirmasi Covid-19 pada 0-6 jam pertama, tetap mendapatkan:

  • Perawatan tali pusat
  • Inisiasi menyusu dini
  • Injeksi vitamin K1
  • Pemberian salep/tetes mata antibiotik
  • Imunisasi Hepatitis B dan pemberian HbIg.

3. Bayi yang dilahirkan dari ibu ODP, PDP atau terkonfirmasi Covid-19 maka:

  • Tidak dilakukan penundaan penjepitan tali pusat
  • Bayi dikeringkan seperti biasa, dan segera dimandikan setelah kondisi stabil tidak menunggu 24 jam
  • Tidak dilakukan inisiasi menyusui dini

4. Ibu dengan HbsAg reaktif dan terkonfirmasi Covid-19:

  • Jika kondisi bayi baik maka imunisasi Hepatitis B tetap diberikan
  • Jika kondisi klinis bayi tidak bugar atau tampak sakit, imunisasi Hepatitis B ditunda

5. Bayi baru lahir dari ibu terkonfirmasi Covid-19 atau status PDP dirawat sesuai rekomendasi IDAI:

Bayi Baru Lahir harus diperiksa Covid-19 (swab dan periksa darah) pada hari ke-1, ke-2 dan ke-14.

Baca juga: 153.535 Positif Corona, Ini 5 Daerah di Indonesia dengan Kasus Terendah dan Tertinggi

Bayi boleh dirawat gabung jika ibu status ODP, akan tetapi tidak dirawat gabung jika status ibu PDP atau terkonfirmasi Covid-19.

Sementara jika ibu harus isolasi, maka dilakukan konseling untuk isolasi terpisah antar ibu dan bayinya selama 14 hari sesuai batas risiko transmisi yang bertujuan untuk mengurangi kontak antara ibu dan bayi.

Bila setelah mendapatkan konseling, ibu tetap berkeinginan untuk merawat bayi sendiri maka:

  • Persiapan harus dilakukan dengan memberikan informasi lengkap dan potensi risiko terhadap bayi.
  • Ibu dan bayi diisolasi dalam satu kamar dengan fasilitas ensuite selama dirawat di rumah sakit
  • Bayi harus ditempatkan di inkubator tertutup di dalam ruangan.
  • Ibu disarankan untuk mengenakan APD yang sesuai dengan pedoman PPI dan diajarkan mengenai etika batuk
  • Bayi harus dikeluarkan sementara dari ruangan jika ada prosedur yang menghasilkan aerosol yang harus dilakukan di dalam ruangan

6. Tenaga kesehatan mengambil sampel skrining hipotiroid kongenital (SHK) pada bayi yang dilakukan setelah 24 jam persalinan, sebelum ibu dan bayi pulang dari fasilitas kesehatan. Sedangkan Tenaga Kesehatan menggunakan APD sesuai status bayi

7. Ibu dan keluarga mendapat nasihat dan edukasi tentang perawatan bayi baru lahir termasuk ASI eksklusif, tanda bahaya jika ada penyulit pada bayi baru lahir serta anjuran membaca buku KIA dan nasihat untuk segera ke RS jika ada keluhan atau tanda bahaya.

Baca juga: Pendaftar Kartu Prakerja Gelombang 5 Tembus 1,7 Juta, Ini Kriteria yang Lolos

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com