Jadi, penyebab fetish tidak hanya soal trauma masa lalu, menderita kekerasan, pemerkosaan, dan lain sebagainya.
Namun juga sebagai hasil yang terbentuk dari proses yang berjalan perlahan.
Baca juga: Viral Utas soal Predator Fetish Kain Jarik, Ini Tanggapan Unair
Penyimpangan tindakan seksual yang terjadi pada seseorang bukanlah sesuatu yang melanggar hukum, selama tidak disalurkan dengan cara yang salah.
Zoya memisahkannya dari cara seseorang melakukannya, apakan melibatkan paksaan terhadap orang lain, atau tidak.
"Memiliki perilaku seksual menyimpang sekali pun, kalau dia tidak memaksakan (kemauannya) kepada orang kan sebenarnya enggak apa-apa. Yang menjadi problem kan adalah ketika dia maksa," ucap Zoya.
Baca juga: Berkaca dari Kasus Djoko Tjandra, Mengapa Penegak Hukum Justru Melanggar Hukum?
Jika dia memaksa orang lain untuk memenuhi hasrat seksualnya yang menyimpang, di sana terjadi pelecehan seksual dan ada konsekuensi hukum.
Namun, jika hasrat seksual yang berbeda itu dilakukan dengan cara yang baik dan terkontrol, maka tidak ada masalah.
"Banyak lho fetish yang tidak melakukan pelecehan seksual, pemaksaan. Misalnya gini, perempuan dapat pacar yang shoe fetish. Dia suka banget kalau liat pacarnya pakai wedges. Terus dia bilang 'kalau kamu pakai wedges aku lebih turn on deh', itu kan bukan bentuk pelecehan. Terus dibelikan pula wedges berwarna-warni, oke aja," ia mencontohkan.
Kuncinya adalah dilakukan dengan adanya izin, tidak memaksa, dan tidak mengintimidasi.
"Nah kalau si Gilang ini kan dia pakai manipulasi, research yang tidak sesuai pula dengan konteks kuliahnya," sebut Zoya.
Baca juga: Membandingkan Tuntutan Hukum pada Kasus Novel Baswedan dan Kasus Lainnya