KOMPAS.com - "Pagi itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng pegunungan Jeng Hoa San (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun,.. "
Itulah paragraf awal dari cerita Bu Kek Siansu karangan Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo.
Bagi generasi yang lahir di akhir dekade 90-an atau masa 2000-an nama Kho Ping Hoo barangkali terdengar asing di telinga.
Namun bagi generasi sebelumnya, nama Kho Ping Hoo dengan cerita-cerita silatnya adalah legenda. Tidak kurang dari 400 judul cerita silat ditulis oleh pria kelahiran Sragen, 17 Agustus 1926 itu. Bahkan, beberapa judul ada yang terdiri hingga sekitar 35 jilid.
Sejumlah istilah khas Kho Ping Hoo juga masih sering digunakan hingga sekarang, di antaranya dunia persilatan, manusia setengah dewa dan lainnya.
Banyak cerita silat karangan Kho Ping Hoo yang terkenal pada masanya seperti Bu Kek Siansu, Pedang Kayu Harum, Pendekar Super Sakti, Badai Laut Selatan, Iblis dan Bidadari, Darah Mengalir di Borobudur, Keris Pusaka Nogopasung dan masih banyak lagi.
Hari ini, 26 tahun lalu tepatnya 22 Juli 1994, Kho Ping Hoo meninggal dunia pukul 07.00 di RS Kasih Ibu, Solo, karena komplikasi penyakit jantung dan ginjal.
KHO PING HOO, maestro cerita silat Indonesia.
— Azmiabubakar (@Azmiabubakar12) April 7, 2020
Pendekar Bodoh, Pedang Ular Merah, Pedang Penakluk Iblis, Pendekar Lembah Naga, Kuda Binal Super Sakti, Suling Emas & Naga Siluman, Pendekar Buta adalah judul2 yg akrab utk penggemar cerita silat, diantara 180 judul karya Kho Ping Hoo pic.twitter.com/fS5treOpW2
Mengutip Harian Kompas, (12/4/1981), Kho biasanya secara teratur menulis mulai hari Minggu hingga Kamis di Pondok Wisma Damai, sebuah villa mungil di Tawangmangu, daerah pegunungan sekitar 40 kilometer arah timur dari rumah kediamannya di Solo, Jawa Tengah.
Baca juga: Profil Desta, Cucu Kho Ping Hoo yang Jadi Artis Multitalenta
Dari tempat nyaman berhawa dingin ini, setiap bulan lahir dua atau tiga naskah, yang kemudian dibawa turun gunung untuk kemdian dicetak di percetakan dan penerbitan yang dimiliki oleh menantunya.
Buku-buku cerita silatnya kemudian menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan hingga ke Negeri Kincir Angin, Belanda.
Kho Ping Hoo lahir di Sragen, 17 Agustus 1926 dari orang tua berdarah China-Jawa, Kho Kiem Po. Pada usia 14 tahun dia sudah lepas dari bangku sekolah dan jadi pelayan toko.
Ketika telah lulus dari HIS Sragen (setingkat SD), dia pernah mencoba mendaftar ke MULO dan diterima, namun perekonomian keluarganya yang sulit membuatnya tidak mampu meneruskan sekolah.
Kehidupannya begitu getir, hingga ia sering menitikkan air mata saat melihat teman-temannya berangkat sekolah, sedangkan ia harus bekerja menjaga toko.
Ketika Jepang masuk ke Tanah Air jelang berakhirnya Perang Dunia II, ia pindah ke Surabaya dan beralih profesi sebagai penjual obat. Ia menjajakan pil-pil semacam kina dan lain-lain ke toko-toko.
Pada masa ini, ia juga bergabung dan digembleng dalam Kaibotai, semacam hansip Jepang, yang pendidikannya sudah sangat militer.