Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Asrama hingga Pondok Pesantren Jadi Klaster Baru Covid-19, Apa yang Terjadi dan Harus Bagaimana?

Kompas.com - 11/07/2020, 11:17 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gugus Tugas Penanganan Covid-19 mencatat Jawa Barat menjadi provinsi dengan penambahan kasus virus corona tertinggi pada Kamis (9/7/2020).

Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat (Secapa AD) di Bandung menjadi klaster baru virus corona.

Menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto dari 1.262 yang positif hanya 17 orang yang dirawat dan diisolasi di rumah sakit karena sejumlah keluhan, mulai dari demam, batuk, dan gangguan pernapasan.

Baca juga: Indonesia Disebut Masuk Fase Berbahaya, Kapan Pandemi Akan Berakhir?

Selain secapa AD, baru-baru ini juga ditemukan kasus Covid-19 di Pondok Modern Gontor 2 di Desa Mandusari, Kecamatan Siman, Ponorogo.

Awalnya sebanyak 7 orang terdeteksi, lalu jumlahnya naik menjadi 11 orang hingga Kamis, (9/7/2020).

Dilansir Kompas.com, Kamis (9/7/2020), santri-santri tersebut berasal dari berbagai daerah.

Langkah yang diambil kemudian adalah rapid test masif bagi seluruh penghuni pondok. Total penghuni pondok ada 1.798 orang.

Terbaru Pondok Pesantren di Kecamatan Jatisrono, Wonogiri menjadi klaster baru Covid-19, menyusul pengasuh dan enam keluarganya positif Covid-19.

Baca juga: Simak Potensi Penularan Virus Corona, dari Udara hingga Menempel di Benda Mati

Lantas apa yang menjadi penyebab masifnya penyebaran Covid-19 di asrama atau pondok pesantren?

Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan suatu kondisi ruangan tertutup dengan banyak orang seperti asrama, pondok pesantren, diklat atau boarding school tentu sangat rentan terjadinya penularan.

"Terutama karena faktor indoor, kerapatan, dan besar kemungkinan dari mekanisme penularan droplets, fomite (benda yang tercemar virus) dan airborne aerosol juga," katanya kepada Kompas.com, Jumat (10/7/2020).

Lanjutnya, sebab penyebaran di pondok atau asrama masif adalah karena umumnya faktor ventilasi dan sirkulasi tidak optimal.

Selain itu juga dengan kondisi banyaknya orang, maka ada barang-barang atau benda yang digunakan bersama.

Baca juga: Virus Corona Menular Lewat Droplet dan Airborne, Apa Bedanya?

Potensi penularan

6 Warga Positif Covid-19, TIm Gugus Tugas Percepatan Penangulangan Covid-19 Kota Parepare, Lakukan SterilisasiSUDDIN SYAMSUDDIN 6 Warga Positif Covid-19, TIm Gugus Tugas Percepatan Penangulangan Covid-19 Kota Parepare, Lakukan Sterilisasi

Potensi penularan akibat penggunaan barang secara bersama seperti meja, kursi atau sarana lainnya akan membuka peluang penularan.

Bahkan toilet bersama juga diketahui merupakan salah satu tempat yang tinggi konsentrasi virusnya.

Protokol kesehatan yang tidak diikuti, seperti mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak, bisa menambah besar potensi penularannya.

"Jadi saran saya, untuk sekolah dari TK sampai universitas termasuk boardings school dan ponpes tetap belajar daring dulu. Setidaknya sampai Oktober ini. Nanti kita evaluasi kembali," ujarnya.

Baca juga: Pakar: Covid-19 Dapat Menyebabkan Sindrom Kelelahan Jangka Panjang

Sedangkan untuk diklat atau pelatihan seperti Secapa, bila memang tidak ada pilihan lain selain harus tatap muka, maka yang harus dilakukan adalah melakukan seluruh kegiatan secara outdoor.

Dicky menambahkan, minimalkan kegiatan indoor, kecuali dalam jumlah orang yang terbatas. misalnya per orang diberi ruang 4 meter persegi.

Sehingga dalam ruangan seluas 20 meter persegi, hanya ada maksimal 5 orang saja. Ruangan tersebut juga tetap harus disertai ventilasi dan sirkulasi udara yang baik agar terjadi pertukaran udara di dalam dan luar ruangan.

Saat disinggung terkait penerapan protokol kesehatan di pondok pesantren, menurutnya sulit, salah satunya lantaran jumlah santri pada umumnya banyak.

Selain itu kondisi sekolah atau ponpes tidak bisa lepas dari situasi kondisi penyakit Covid-19 di masyarakat.

"Artinya jika di masyarakat cakupan tes masih rendah atau masih banyak orang yang terinfeksi belum terdeteksi, maka sekolah dan ponpes tidak akan aman," kata Dicky.

Baca juga: Ibu Hamil Tak Mampu Bayar Swab, Benarkah Tes untuk Bumil Berbayar?

Cakupan tes

Pegawai di lingkungan Kantor Wali Kota Jakarta Utara yang jalani rapid test massal Sudin Kominfotik Jakarta Utara Pegawai di lingkungan Kantor Wali Kota Jakarta Utara yang jalani rapid test massal

Lanjutnya, sekolah atau ponpes bisa dibuka jika Indonesia sudah memiliki cakupan tes yang ideal di tiap wilayah, yaitu di kisaran 1 persen dari total populasinya dengan positive rate di kisaran 3 sampai 5 persen

"Sekali lagi testing ini amat sangat penting, karena jadi merembet kemana-mana akibat kita tidak mendeteksi orang-orang pembawa virus," kata dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh epidemiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo.

Menurutnya pondok pesantren atau sejenisnya berisiko tinggi menjadi klaster baru penularan virus corona.

Baca juga: WHO Tegaskan Vaksin Covid-19 Tak Akan Tersedia Sebelum Akhir 2021

Dirinya menyayangkan pondok pesantren dan sekolah asrama sudah mulai menerima peserta didik, padahal sekolah biasa masih belum dibuka.

"Padahal itu (pondok) membawa kedekatan antar orang di sana," ujarnya saat dihubungi terpisah Kompas.com, Jumat (10/7/2020).

Dia mengamati orang-orang yang berada di berbagai pondok, seperti bagaimana mereka tidur, membersihkan badan, berwudu, dan sebagainya.

Menurutnya, kebersihan dan sanitasinya kebanyakan buruk. Seperti saat berwudu mereka tidak menggunakan air mengalir.

Sehingga ketika ada salah satu yang terinfeksi, akan menyebar ke banyak orang. Seperti pada penyakit kulit, penyakit mata, dan semacamnya.

Baca juga: Mengapa Warga di Makassar Tolak Rapid Test? Ini Penjelasan Sosiolog

Dia juga menyoroti mengenai rapid test sebagai syarat boleh kembali ke pondok. Menurut Windhu, itu tidak tepat.

"Rapid test tidak boleh dijadikan alat pengambil keputusan, itu ngawur semua, karena prosedurnya enggak begitu. Para pengambil kebijakan tidak mendengar para ahli seharusnya bagaimana," kata Windhu.

Windhu menjelaskan mengapa rapid test tidak boleh digunakan dalam kebiijakan. Rapid test mendeteksi respons imun.

Sementara itu respons imun tidak bisa muncul seketika setelah seseorang terinfeksi. Respons imun baru keluar setelah 7 hari terinfeksi.

Misalnya orang yang tertular kemarin, saat dites hari ini tentu saja hasilnya non reaktif alias negatif. Sehingga dia bisa menulari orang lain ketika dianggap tidak terinfeksi.

Baca juga: Soal Rapid Test di Indonesia, Siapa yang Dites dan Bagaimana Prosesnya?

Penggunaan rapid test

ASN di Pemkot Jakarta Utara mengikuti rapid test massal di Ruang Bahari, kantor Wali Kota Jakarta UtaraSudin Kominfotik Jakarta Utara ASN di Pemkot Jakarta Utara mengikuti rapid test massal di Ruang Bahari, kantor Wali Kota Jakarta Utara

Rapid test digunakan untuk syarat keluar masuk suatu daerah, mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri, dan juga kembali ke pondok atau asrama.

Jika ingin menggunakan rapid test, kata Windhu, harus sesuai prosedur. Tidak bisa hanya mengandalkan hasil sekali tes, tapi harus diulang 2 kali dan dalam jangka 7-10 hari (setelah tes pertama).

"Jika pada tes kedua hasilnya non reaktif, baru aman," kata dia.

Windhu menjelaskan, bagi yang hasilnya reaktif pun tidak berhenti sampai di sana, harus dilanjutkan ke tes PCR.

Pihaknya menyarankan untuk pesantren atau asrama yang sudah terlanjur menerima peserta didik, dibiarkan saja. Tapi mereka harus diisolasi dari masyarakat luar.

Baca juga: Pembukaan Mal, Dalih Ekonomi dan Ancaman Meningkatnya Pandemi Covid-19

Seperti masjid pondok yang biasanya juga dipakai bersama masyarakat luas, sebaiknya tidak digunakan bersama. Itu untuk mencegah penyebaran virus tersebut.

Lalu bagi pondok lainnya yang belum menerima siswa, jangan menerima dulu hingga aman.

Menurut Windhu selama daerah masih dinamis, warna zonanya masih berubah-ubah, artinya belum aman. Walaupun pondok berada di zona hijau, tapi para peserta didik yang datang berasal dari berbagai daerah.

"Kita ini enggak pernah belajar dari apa yang pernah kita alami jadi nekat terus, makanya Covid-19 ini enggak berhenti-berhenti selalu ada dan masih tinggi," tutupnya.

Baca juga: Jangan Ngeyel, Mengapa Saat Wabah Virus Corona Wajib untuk di Rumah Saja?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com