Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Pemerintah 2020-2024, Ubah Rp 1.000 Jadi Rp 1?

Kompas.com - 07/07/2020, 14:12 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Virdita Rizki Ratriani

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana melakukan perubahan nilai rupiah atau redenominasi melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi).

Rencana tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu 2020-2024 yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 77/2020.

Dituliskan dalam PM tersebut urgensi redenominasi adalah menimbulkan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah.

"Menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit rupiah," tulis Kemenkeu dalam PMK tersebut (7/7/2020).

RUU tersebut ditargetkan rampung pada 2021 hingga 2024.

Sementara itu, pada Matriks Kerangka Regulasi Kemenkeu 2020-2024 yang terlampir pada Renstra, unit yang bertanggung jawab dalam menyusun RUU Redenominasi ini adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan dibantu Sekretariat Jenderal dan Badan Kebijakan Fiskal selaku unit terkait.

Lantas, apa itu redenominasi? bagaimana dampaknya ketika sudah diterapkan?

Baca juga: BI: Sekarang Saat yang Tepat Realisasikan Redenominasi

Pengertian redenominasi

Mengutip tulisan Paul Sutaryono Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI yang dimuat Harian Kompas, 4 Agustus 2017, redenominasi merupakan pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.

"Ambil contoh, uang pecahan (denominasi) Rp 1.000 dipotong menjadi Rp 1. Jika menggunakan uang lama sebelum redenominasi harga bawang merah Rp 30.000 per kilogram, jika menggunakan uang baru setelah redenominasi harga menjadi Rp 30," tulis Paul.

Rencana redenominasi sendiri bukanlah wacana baru. Pada 2010, Bank Indonesia (BI) sudah merencanakan lima tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah.

Pada tahap pertama (2010), BI melakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara. Tahap kedua (2011-2012) merupakan masa sosialisasi.

Tahap ketiga (2013-2015) merupakan masa transisi ketika ada dua kuotasi penyebutan nominal uang. Tahap keempat (2016-2018), BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018.

Baca juga: Krisis Ekonomi Makin Parah, Venezuela Berencana Redenominasi Mata Uang

Tahap kelima sebagai tahap terakhir (2019-2020), keterangan ”baru” dalam uang cetakan baru akan dihilangkan. Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi.

Meski demikian, redenominasi masih belum berlaku hingga sekarang dan masyarakat masih melakukan transaksi dengan menggunakan denominasi yang biasa.

Praktik redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai suatu mata uang menjadi lebih kecil dan tidak ada jaminan bahwa nilai tukarnya akan berubah.

Indonesia pernah melakukan sanering pada 1962 dan 1965 ketika tingkat inflasi sangat tinggi, masing-masing mencapai 131 persen dan 650 persen.

"Contoh sanering, uang pecahan Rp 1.000 dipotong menjadi Rp 1. Ketika harga bawang merah dengan uang lama harganya Rp 30.000 per kilogram, harganya tetap tak berubah menjadi Rp 30.000 dengan uang baru," tulis Paul.

Baca juga: Sri Mulyani Tunda Ajukan RUU Redenominasi

Manfaat Redenominasi

Redenominasi memiliki beberapa manfaat. Pertama, redenominasi akan mendorong mata uang rupiah lebih efisien dengan memotong beberapa nol.

Tegasnya, redenominasi akan menyederhanakan dan mempercepat penulisan angka pada society worldwide interchange financial telecommunication (SWIFT).

Dalam industri perbankan internasional dikenal alat komunikasi SWIFT untuk keperluan finansial dan non finansial tercepat saat ini.

Selama ini, SWIFT hanya menyediakan maksimal 14 digit (angka) dalam berita yang akan dikirim melalui SWIFT. Di sinilah satu negara yang memiliki pecahan uang dengan banyak nol akan mengalami kesulitan untuk menyebutkan angka di atas 99 triliun.

Untuk itu, redenominasi akan memberikan manfaat besar bagi transaksi keuangan, baik melalui SWIFT maupun alat komunikasi konvensional lain, seperti teleks dan faksimile yang dilengkapi sandi tertentu sebagai pengaman.

Maka, sektor jasa keuangan, baik bank maupun nonbank, pasti menyambut hangat redenominasi itu.

Baca juga: Jokowi Akui Pemerintah Dalami RUU Redenominasi

Kedua, redenominasi akan meningkatkan rasa percaya diri terhadap rupiah. Saat ini nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 13.300. Ketika Rp 1.000 dipotong menjadi Rp 1, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS hanya Rp 13,30. Dengan demikian, kelak kita akan merasa lebih bangga dengan mengantongi rupiah.

Dengan bahasa lebih bening, setelah redenominasi rupiah akan naik peringkat dalam nilai tukar terhadap dollar AS. Kenaikan tersebut akan mendorong orang Indonesia lebih suka memegang rupiah daripada mata uang asing, katakanlah dollar AS, di dalam negeri.

Ketiga, pemangkasan beberapa nol dalam mata uang rupiah itu akan mengerek kredibilitas rupiah di pasar keuangan nasional. Ketika pasar modal lebih bergairah karena kestabilan nilai tukar rupiah, pasar modal akan lebih menjadi wadah bagi perusahaan besar (korporasi) untuk mencari dana dengan menerbitkan surat utang atau obligasi (bond). 

Keempat, sejatinya, redenominasi juga merupakan sinyal bahwa roda ekonomi selama ini telah berjalan pada rel yang benar.

Dengan bahasa lebih lugas, redenominasi dapat menjadi instrumen bagi pemerintah dalam mendorong tingkat kepercayaan, baik kepada masyarakatnya sendiri maupun kepada pasar regional, internasional, dan global.

Baca juga: Menko Darmin: Redenominasi untuk Pride Indonesia

Kegagalan Argentina

Pengalaman negara lain menunjukkan keberhasilan redenominasi menuntut stabilitas makroekonomi, inflasi yang terkendali, nilai tukar mata uang, dan kondisi fiskal. 

Pemerintah dan BI perlu belajar dari kegagalan Argentina yang melakukan devaluasi dengan redenominasi pada 2002.

Jangan sampai inflasi justru mendaki ketika pedagang berbuat nakal dengan membulatkan harga ke atas.

Misalnya, harga beras dari Rp 7.800 (uang lama) menjadi Rp 8 (uang baru). Tampaknya sederhana dan sepele, tetapi bisa menjadi bola salju yang kian membesar ketika terus menggelinding kencang.

Selain itu, pemerintah dan BI juga wajib mencermati tahap kedua dan ketiga. Tahap kedua yang merupakan tahap sosialisasi dan tahap ketiga yang merupakan masa transisi dapat menjadi titik kritis.

Mengapa? Sebab, Indonesia terdiri atas ribuan pulau seluas daratan Eropa. Sebab itu, kedua tahap itu patut dipertimbangkan dilakukan lebih lama untuk menjamin redenominasi berjalan mulus.

 Baca juga: RUU Redenominasi Diupayakan Masuk Meja DPR Tahun Ini

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com