Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Kebiasaan Cebok dengan Tisu pada Budaya Barat

Kompas.com - 30/06/2020, 07:43 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Virdita Rizki Ratriani

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Masyarakat dunia hidup dalam budaya yang berbeda-beda. Baik disebabkan oleh perbedaan geografis, kondisi cuaca, kepercayaan, suku, dan sebagainya.

Tidak aneh jika terdapat banyak perbedaan dalam cara menjalani hidup antar satu kelompok masyarakat dan kelompok lainnya.

Salah satunya tentang cara manusia membersihkan kemaluan atau duburnya setelah buang air kecil maupun besar yakni cebok. 

Di masyarakat Indonesia, Asia Tenggara, atau negara Timur Tengah, lazimnya proses cebok ini dilakukan menggunakan media air. Air diyakini dan memang terbukti lebih membersihkan area yang kotor dibandingkan dengan media lainnya.

Namun apa boleh dikata, budaya tetap lah budaya. Orang barat, lumrah menggunakan kertas tisu atau tisu toilet untuk melakukan kegiatan ini.

Tidak ada bidet atau semprotan air dalam toilet yang mereka gunakan sehari-hari. Sebagai gantinya, di sana akan terpasang tisu gulung yang biasanya dikaitkan pada cantolan yang tertempel di dinding toilet.

Dengan tisu-tisu itulah mereka mengusap dan membersihkan kotoran yang menempel di tubuh setelah buang air. Bagaimana budaya itu ada dan terbentuk di masyarakat negara barat?

Baca juga: Pria Ini Borong Tisu Toilet Rp 100 Juta, tapi Tidak Laku Dijual Lagi

Beragam benda untuk membersihkan diri

Dikutip dari BBC, sebenarnya manusia tidak membutuhkan tisu toilet untuk membersihkan diri setelah buang air.

Pada awalnya, manusia menggunakan beragam benda untuk membersihkan area dubur dan kemaluannya.

Misalnya, leluhur Jepang yang menggunakan tongkat, atau orang Roma yang menggunakan spons secara bergantian di toilet umum ternyata menjadi sumber penyebaran penyakit.

Ada juga penggunaan kain yang bisa dicuci, bonggol jagung, rumput, kulit binatang, salju, dan batu.

Selama Perang Dingin, banyak masyarakat yang menggunakan kliping kertas bekas atau gulungan 'tisu' yang terbuat dari surat kabar daur ulang. Produk ini diproduksi oleh negara mereka sendiri.

Dari salah satu operasi di Perang Dingin, Operasi Tamarisk, di sana ada mata-mata Inggris dan Amerika yang ditugaskan untuk mengumpulkan dan merekonstruksi dokumen sensitif yang telah dihancurkan tentara Soviet dengan cara digunakan sebagai kertas toilet.

Jadi, semua alat bantu cebok itu digunakan oleh masyarakat berdasarkan biaya, ketersediaan, kenyamanan, dan cuaca di tempatnya tinggal.

Baca juga: Tak Jadi Gulung Tikar, Toko Roti di Finlandia Ini Bikin Kue Berbentuk Gulungan Tisu Toilet

Asal mula tisu toilet

Sementara tisu toilet, benda ini pertama kali diketahui digunakan untuk keperluan sanitasi pada abad ke-6 di China.

Kemudian, baru lah pada 1857 tisu toilet diproduksi dan dijual oleh pengusaha Amerika, Joseph Gayetti.

Sayangnya, pada saat itu kertas tisu harganya sangat mahal, oleh karena itu tisu ini menjadi barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh kalangan menengah ke atas.

Sehingga keberadaan toilet ini diam-diam menciptakan kelas-kelas masyarakat.

Padahal penelitian sudah menyebut, penggunaan air jauh lebih bersih dan efektif untuk membersihkan sisa kotoran daripada penggunaan tisu toilet.

Selain tidak lebih efektif, tisu toilet juga membahayakan lingkungan hidup. Mengapa? Secara global, pembuatannya membutuhkan 27.000 batang pohon setiap harinya.

Itu artinya sekian banyak pohon ditebang untuk memproduksi lembaran tisu yang didistribusikan ke seluruh dunia, termasuk toilet-toilet rumah tangga di negara barat.

Sisa penggunaan tisu toilet ini juga menghambat sistem saluran air yang sebagian besar infrastruktur negara tidak bisa mengatasinya.

 Baca juga: Karakter Asli Warga Perkotaan Saat Krisis, Baku Hantam karena Tisu Toilet hingga Borong Senjata

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com