Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Viral Twit Strategi Melawan Covid-19, Benarkah Psikologis yang Dominan?

Kompas.com - 19/06/2020, 20:30 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah unggahan di media sosial Twitter soal strategi melawan Covid-19 viral.

Twit tersebut dibuat oleh @drpriono pada Kamis (18/6/2020). Dalam twit tersebut disebutkan bahwa strategi melawan Covid-19 oleh Gugus Tugas adalah 20 persen menggunakan medis dan 80 persen psikologis.

Psikologis yaitu dengan menjaga stamina, tidak panik, gembira, gizi, istirahat, dan olahraga.

Selain itu menggunakan telemedicine, dengan tujuan yang sehat tetap sehat, yang kurang sehat jadi sehat, dan yang sakit diobati sampai sembuh.

Lalu yang dimaksud dengan medis adalah dengan peningkatan kapasitas SDM, tenaga kesehatan, alat material kesehatan, dan relawan.

Strategi yang dilakukan adalah testing, tracing, dan isolation.

Hingga Jumat (19/6/2020), twit tersebut telah disukai lebih dari 2.000 kali dan dibagikan ulang lebih dari 1.200 kali.

Baca juga: Angka Kematian Covid-19 Melonjak, Swedia Akui Kesalahan Strategi Pandemi

Berikut ini narasinya:

Strategi melawan Covid19, ternyata menggunakan 80 persen psikologi yg dianggap meningkatkan imunitas dst. 20% Medis, bukan public health. Pantesan Ambyar

Tangkapan layar soal strategi melawan Covid-19 Gugus TugasTwitter Tangkapan layar soal strategi melawan Covid-19 Gugus Tugas

Konfirmasi Kompas.com

Sementara itu Kompas.com mencoba menghubungi Pandu Riono terkait unggahan tersebut. Meskipun mengaku tidak mengingat sumber unggahan tersebut, namun menurut Pandu hal itu dikeluarkan oleh BNPB. 

"Tapi itu ada logo BNPB," kata dia. 

Dihubungi terpisah, jubir Pemerintah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menolak menanggapi dan memberikan keterangan terkait ungahan itu. 

"Saya gak komentar," ujarnya pada Kompas.com, Jumat (19/6/2020).

Baca juga: Pandemi Virus Corona, Bagaimana Indonesia Bersikap Hadapi Covid-19?

Pendekatan test, trace, isolate, dan treat

Epidemiolog UGM Dr Bayu Satria Wiratama menanggapi soal strategi gugus tugas itu. Apabila strategi hal itu masih dijalankan, pihaknya mengaku tidak sepakat. 

"Kalau dari saya pribadi dan mungkin banyak orang juga tidak setuju dengan strategi penanganan Covid-19 yang dikeluarkan gugas pusat," katanya pada Kompas.com, Jumat (19/6/2020).

Dia melanjutkan, menurutnya pendekatan epidemiologi untuk menangani pandemi dapat dilakukan dengan test, trace, isolate, dan treat dan seharusnya mendapat porsi lebih besar.

Mengenai tes-nya, Bayu mengungkapkan batasan WHO adalah minimal 1 tes per 1000 populasi per minggu. 

Lalu trace adalah penelusuran kontak dari orang yang positif Covid-19. Sehingga infeksi virus corona tidak banyak menyebar. 

Baca juga: Pemerintah Dinilai Inkonsisten Hadapi Covid-19

Menurut Bayu, sisi psikologis memang diperlukan tapi bukan porsi utama. Menurut dia, wabah berkepanjangan pasti berdampak ke psikologis kepada nakes dan non nakes. Sementara itu penanganan psikologis sebenarnya juga bagian dari medis.

Bayu menyebut, penanganan Covid-19 yang kurang tepat bisa menyebabkan suatu negara kewalahan menghadapi virus ini. Dia mencontohkan, Amerika Serikat dan Brasil termasuk negara yang kewalahan.

Namun negara-negara itu tidak terang-terangan seperti Indonesia yang mengatakan penanganan Covid-19 menggunakan psikologis sebanyak 80 persen.

Beda dampak dan strategi

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyebut, terkait strategi pemerintah tersebut, pihaknya pernah mendengar sekitar bulan Maret lalu. 

Namun pihaknya tidak mengetahui apakah strategi tersebut masih dilakukan pemerintah hingga saat ini atau tidak. 

"Hanya waktu saya tahu itu, sempat saya kritik dan pertanyakan dasar ilmiahnya apa," ujar Dicky saat dihubungi Kompas.com. 

Baca juga: Hadapi Covid-19, Jokowi Minta Daerah Jangan Buat Acara Sendiri-sendiri

Berbeda dengan bagan strategi melawan Covid-19, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut, persoalan Covid-19, 20 persen merupakan persoalan kesehatan, sedangkan 80 persen lainnya merupakan persoalan psikologi.

"Kalau masyarakat tidak bisa menjaga psikologi mereka sendiri, ada kecenderungan imunitas menurun, yang menyebabkan orang terkena Covid-19 dan menjadi lemah," ujar Moeldoko dikutip dari Antara (29/4/2020).

Mengenai pernyataan Moeldoko, Dicky mengatakan, hal itu bisa terjadi dalam situasi pandemi.

Sebab kaitannya dengan merespons dampak psikologis. Akibat situasi pandemi misalnya, berdampak pada anak dan tingkat perceraian seperti ada di sejumlah negara.

"Sedangkan untuk strategi pengendalian pandemi tidak bisa denga pendekatan psikologis dan tidak ada dasarnya," jelas dia.

Pengendalian pandemi menurut Dicky, bukan dengan meningkatkan kesehatan mental. Namun lebih pada dampak.

"Kalau menurunkan atau mengendalikan pandemi harus dengan testing tracing isolasi dan treatmen, dan mengubah perilaku masyarakat. Itu yang harus diluruskan," jelas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus Diganti KRIS Maksimal 30 Juni 2025, Berapa Iurannya?

Tren
Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Penjelasan Polisi dan Dinas Perhubungan soal Parkir Liar di Masjid Istiqlal Bertarif Rp 150.000

Tren
Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Apa yang Terjadi jika BPJS Kesehatan Tidak Aktif Saat Membuat SKCK?

Tren
Uji Coba Implan Otak Neuralink Pertama untuk Manusia Alami Masalah, Ini Penyebabnya

Uji Coba Implan Otak Neuralink Pertama untuk Manusia Alami Masalah, Ini Penyebabnya

Tren
BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

Tren
Update Banjir Sumbar: Korban Meninggal 41 Orang, Akses Jalan Terputus

Update Banjir Sumbar: Korban Meninggal 41 Orang, Akses Jalan Terputus

Tren
Ini Penyebab Banjir Bandang Landa Sumatera Barat, 41 Orang Dilaporkan Meninggal

Ini Penyebab Banjir Bandang Landa Sumatera Barat, 41 Orang Dilaporkan Meninggal

Tren
Gara-gara Mengantuk, Pendaki Gunung Andong Terpeleset dan Masuk Jurang

Gara-gara Mengantuk, Pendaki Gunung Andong Terpeleset dan Masuk Jurang

Tren
Badai Matahari Mei 2024 Jadi yang Terkuat dalam 20 Tahun Terakhir, Apa Saja Dampaknya?

Badai Matahari Mei 2024 Jadi yang Terkuat dalam 20 Tahun Terakhir, Apa Saja Dampaknya?

Tren
5 Temuan Polisi soal Kondisi Bus yang Kecelakaan di Subang, Bekas AKDP hingga Rangka Berubah

5 Temuan Polisi soal Kondisi Bus yang Kecelakaan di Subang, Bekas AKDP hingga Rangka Berubah

Tren
Nilai Tes Online Rekrutmen BUMN Tiba-tiba Turun di Bawah Standar, Ini Kronologinya

Nilai Tes Online Rekrutmen BUMN Tiba-tiba Turun di Bawah Standar, Ini Kronologinya

Tren
Pakai Cobek dan Ulekan Batu Disebut Picu Batu Ginjal, Ini Faktanya

Pakai Cobek dan Ulekan Batu Disebut Picu Batu Ginjal, Ini Faktanya

Tren
7 Pilihan Ikan Tinggi Zat Besi, Hindari Kurang Darah pada Remaja Putri

7 Pilihan Ikan Tinggi Zat Besi, Hindari Kurang Darah pada Remaja Putri

Tren
Pendaftaran CPNS 2024: Link SSCASN, Jadwal, dan Formasinya

Pendaftaran CPNS 2024: Link SSCASN, Jadwal, dan Formasinya

Tren
6 Tanda Tubuh Terlalu Banyak Konsumsi Garam

6 Tanda Tubuh Terlalu Banyak Konsumsi Garam

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com