Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dinilai Terlalu Berisiko, Singapura Tidak Terapkan Herd Immunity

Kompas.com - 12/05/2020, 21:05 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Mencapai herd immunity terhadap Covid-19 melalui infeksi alami pada populasi akan menyebabkan jumlah kematian dan infeksi yang lebih tinggi.

Selain itu juga dapat membebani sistem perawatan kesehatan apabila pasien membludak. Singapura, meskipun disebut-sebut memiliki layanan kesehatan yang baik di dunia tidak mau mengambil opsi menjalankan herd immunity. 

Hal itu diungkapkan Direktur Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Singapura (MOH) Kenneth Mak saat briefing virtual pada hari Selasa (12/5/2020) dilansir dari Straits Times Singapore.

Mak menjelaskan bahwa Singapura harus "membayar sangat mahal" untuk mencapai herd immunity, oleh karena itu cara ini belum menjadi bagian dari strategi Singapura untuk memerangi pandemi virus coronavirus. .

"Jika kita berasumsi bahwa kita akan membiarkan Covid-19 menyebar bebas dalam populasi kita, maka kita harus menerima kenyataan akan ada lebih banyak lansia jatuh sakit, lebih banyak lansia yang mengalami komplikasi, dan sejumlah besar lansia bisa meninggal karena infeksi," kata Mak.

Baca juga: Update Virus Corona di ASEAN: Singapura Kasus Tertinggi, Malaysia Terbanyak Sembuh

Risiko kesehatan pasien

Selain itu, Mak juga menyebut risiko rumah sakit dan juga ruang ICU yang akan dibanjiri oleh pasien Covid-19.

Menurutnya, jika Singapura berhasil mengendalikan penyebaran virus corona dengan baik, maka Singapura tidak akan perlu mengandalkan herd immunity, kecuali kekebalan yang diperoleh dari vaksin.

Para pakar memperkirakan sekitar 60 sampai 80 persen populasi harus terinfeksi dan memeroleh kekebalan dari virus tersebut sehingga herd immunity bisa dicapai.

Namun, perkiraan tersebut hanyalah "dugaan terbaik" seperti dikatakan oleh Vernon Lee, direktur divisi penyakit menular MOH.

Profesor Lee mencatat bahwa negara-negara lain yang telah melakukan tes serologi menemukan fakta bahwa persentase positif masih "jauh di bawah" ambang batas yang diperlukan untuk herd immunity.

Baca juga: Swedia Disebut Terapkan Herd Immunity, Begini Bahayanya Menurut Epidemiolog

Tes serologi adalah tes yang menganalisis antibodi seseorang untuk menentukan apakah dia telah terinfeksi.

"Jadi untuk mencapai persentase itu (60-80 persen) untuk mencapai herd immunity akan membutuhkan sejumlah besar orang untuk terinfeksi. Sejauh ini, saya tidak berpikir ada negara di dunia yang telah mencoba menggunakan herd immunity secara keseluruhan sebagai strategi untuk memerangi Covid-19," kata Lee.

Pada hari Selasa (12/5/2020) siang, MOH mengkonfirmasi 884 kasus virus corona baru di Singapura, sehingga jumlah total infeksi di negara itu telah melebihi 24.000 kasus.

Apa itu herd immunity?

Diberitakan Kompas.com (20/3/2020), herd immunity mengacu pada situasi ketika cukup banyak orang dalam suatu populasi memiliki kekebalan terhadap infeksi sehingga dapat secara efektif menghentikan penyebaran penyakit tersebut.

Kekebalan tersebut bisa berasal dari vaksinasi atau dari orang yang menderita penyakit tersebut. Seberapa banyak orang yang dibutuhkan untuk menciptakan kondisi tersebut tergantung pada seberapa menularnya patogen tersebut.

Untuk membatasi penyebaran campak misalnya, para ahli memperkirakan 93-95 persen dari populasi perlu kebal. Campak lebih menular daripada virus corona baru atau Covid-19.

Baca juga: Apa Itu Herd Immunity, dan Mengapa Bisa Sebabkan Kematian Massal?

Para ahli memerkirakan untuk menghentikan penyebaran virus corona sebanyak 40-70 persen dari populasi perlu kebal.

Sementara itu herd immunity juga bisa dihentikan dengan vaksinasi. Sayangnya saat ini belum tersedia vaksin untuk virus corona.

Ini juga dapat dicapai secara alami karena ketika orang terinfeksi lalu pulih, dia akan kebal terhadap infeksi. Ini berfungsi jika kemungkinan infeksi ulang rendah atau idealnya nol.

Berisiko tingkatkan kematian

Dengan membuat banyak orang terinfeksi, kemungkinan meningkatnya angka kematian juga tinggi. Misalnya diambil 70 persen dari total populasi untuk sengaja diinfeksi.

Dari jumlah tersebut tidak semuanya berusia muda. Ada juga orang tua. Padahal orang tua termasuk golongan rentan.

Menurut WHO, orang tua atau orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, seperti diabetes atau kanker paru-paru rentan terinfeksi oleh virus corona.

Orang tua atau lansia berisiko sakit parah jika terinfeksi. Hal itu karena kekebalan mereka yang lebih rendah dibanding kelompok usia lainnya. 

Baca juga: Gelombang Kedua Corona, Herd Immunity dan Strategi Indonesia Hadapi Pandemi

Strategi yang berbahaya

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa strategi herd immunity berbahaya diterapkan.

Dicky menjelaskan, Herd Immunity atau kekebalan komunitas lebih tepat untuk menyebut kondisi apabila dikaitkan dengan sudah ditemukannya vaksin.

Sehingga, ketika vaksin belum ditemukan maka istilah Herd Immunity menurut dia kurang pas untuk pandemi Covid-19. Dicky juga menekankan bahwa pendekatan Herd Immunity sebelum ada vaksin sangat berbahaya apabila diterapkan.

"Karena ini bukan penyakit flu biasa," ungkap dia.

Dalam istilah pemahaman kekebalan komunitas yang terjadi saat ini, Dicky menyebut, data WHO secara global di dunia baru sekitar 3 persen yang kemungkinan memiliki kekebalan Covid-19.

"Masih besar yang rentan terkena, masih 90 persen lebih," jelas dia.

Baca juga: Hari Perawat Internasional, Berikut Kisah-kisah Perawat Selama Pandemi Corona

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Daftar Harga Sembako per Awal Mei 2024, Beras Terendah di Jawa Tengah

Tren
Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Menakar Peluang Timnas Indonesia Vs Guinea Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Berapa Suhu Tertinggi di Asia Selama Gelombang Panas Terjadi?

Tren
Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Menyusuri Ekspedisi Arktik 1845 yang Nahas dan Berujung Kanibalisme

Tren
Apa Itu Vaksin? Berikut Fungsi dan Cara Kerjanya di Dalam Tubuh Manusia

Apa Itu Vaksin? Berikut Fungsi dan Cara Kerjanya di Dalam Tubuh Manusia

Tren
Puncak Hujan Meteor Eta Aquarids 5-6 Mei 2024, Bisakah Disaksikan di Indonesia?

Puncak Hujan Meteor Eta Aquarids 5-6 Mei 2024, Bisakah Disaksikan di Indonesia?

Tren
Kronologi dan Dugaan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Pelaku Sempat Melakukan Upaya Bunuh Diri

Kronologi dan Dugaan Motif Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Pelaku Sempat Melakukan Upaya Bunuh Diri

Tren
7 Manfaat Ikan Teri, Menyehatkan Mata dan Membantu Diet

7 Manfaat Ikan Teri, Menyehatkan Mata dan Membantu Diet

Tren
Buah dan Sayur yang Tidak Boleh Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah dan Sayur yang Tidak Boleh Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
Jadwal dan Live Streaming Pertandingan Semifinal Thomas dan Uber Cup 2024 Hari ini

Jadwal dan Live Streaming Pertandingan Semifinal Thomas dan Uber Cup 2024 Hari ini

Tren
Sederet Fakta Kasus Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Dilakukan di Jalan Desa

Sederet Fakta Kasus Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Dilakukan di Jalan Desa

Tren
Bagaimana Tubuh Bisa Menghasilkan Vitamin D Saat Terpapar Sinar Matahari?

Bagaimana Tubuh Bisa Menghasilkan Vitamin D Saat Terpapar Sinar Matahari?

Tren
Waspada Cuaca Panas Melanda Indonesia, Ini Tips Menghadapinya

Waspada Cuaca Panas Melanda Indonesia, Ini Tips Menghadapinya

Tren
7 Tanda Kolesterol Tinggi yang Sering Diabaikan, Pegal di Pundak dan Mudah Mengantuk

7 Tanda Kolesterol Tinggi yang Sering Diabaikan, Pegal di Pundak dan Mudah Mengantuk

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com