Jangankan karya-karyanya, selama rezim Orde Baru, informasi tentang dirinya dan tentang karya-karyanya saja sulit diperoleh.
Dalam buku-buku ajar Bahasa dan Sastra Indonesia selama rezim Orde Baru, informasi tentang Pram dan karya-karyanya lebih sukar lagi ditemukan. Hampir semua buku ajar menggelapkannya.
Sayangnya, hingga akhir hayatnya, 29 April 2006, pelarangan atas buku-buku Pram belum juga secara resmi dicabut Pemerintah Indonesia.
Pangkal semua itu adalah masa lalu Pram. Dia aktif bergiat di Lekra dan sangat aktif menyerang para sastrawan penganut paham humanisme universal, terutama penanda tangan Manifes Kebudayaan.
Baca juga: Mengenang Kurt Cobain, Ikon Musik Rock Modern
Pram terpilih sebagai salah seorang penerima Freedom to Write Award yang diadakan PEN America Center. Tapi saat penghargaan itu akan diberikan pada 27 April 1988, Pram tak dapat hadir.
Pada 19 Juli 1995, Yayasan Penghargaan Ramon Magsaysay menetapkannya sebagai orang ke-10 Indonesia yang pantas menerima Ramon Magsaysay Award.
Tapi penghargaan tersebut diterimanya secara in absentia lantaran dirinya dilarang bepergian ke luar negeri oleh rezim saat itu.
Karya-karya Pram dikenal berkualitas dan layak dibaca oleh masyarakat.
Ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa
Menurut Peminat Sastra Iwan Gunadi, keseriusan Pram dalam meriset sebelum menulis karya sastra pantas menjadi teladan bagi para penulis karya sastra masa kini.
Baca juga: Mengenang Lukman Niode, Legenda Renang Indonesia yang Meninggal karena Covid-19
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.