Pada satu aspek, menjadi pengetahuan umum, politik uang dan rendahnya kaderisasi partai menghasilkan elite politik yang kurang berkualitas serta kurang nilai keutamaan berbangsa, termasuk kemampuan memandu warga bangsa pada situasi krisis serta menumbuhkan pelayanan sosial.
Pada aspek lain, politik yang masih bergelut belum selesai untuk melayani dirinya sendiri, terasa membiarkan publik tanpa panduan komunikasi.
Pembiaran itu begitu terbuka dalam era revolusi 4.0 ketika informasi dan komunikasi antarwarga terjadi lewat ponsel di genggaman tangan.
Dilemanya, warga bangsa yang tumbuh tanpa budaya membaca sebagai dasar kultur analisis dan seleksi, serta belum tumbuhnya literasi media baru, ditambah lagi kenyataan bahwa kebebasan pasca-reformasi belum tertransformasi menjadi sikap respek berbasis etika komunikasi publik, melahirkan kecenderungan kenyataan sosial dalam demokratisasi banal.
Kecenderungan banal tersebut terbaca pada stigmatisasi memilukan pada para perawat hingga pekerja rumah sakit.
Dalam kisah-kisah koboi di film-film selalu digambarkan hukum rimba terjadi di jalanan ketika penegak hukum tidak muncul sehari-hari diruang publik. Krisis sosial dan ekonomi terjadi. Masyarakat terpecah belah kehilangan panduan kepemimpinan.
Film–film koboi tersebut mengingatkan, terdapat nilai keutamaan yang diperlukan di tengah situasi krisis pandemi, yakni sosialisasi dan panduan komunikasi publik disertai penegakan hukum dan dukungan beragam modal bagi para pekerja Covid-19.