Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Perubahan Iklim, Cara Mengetahui, dan Dampaknya bagi Manusia...

Kompas.com - 04/04/2020, 10:31 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Baru-baru ini peneliti mulai memerhatikan kenaikan permukaan laut yang signifikan dan menyebabkan beberapa daerah di Asia terendam.

Perubahan iklim membuat sejumlah permukaan di bumi. Salah satunya yakni kecepatan mencairnya es di Kutub Utara.

Hal itu tentu tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang sepela.

Baca juga: Mengapa Indonesia Kerap Dilanda Gempa Bumi?

Dilansir Live Science (12/3/2020), perubahan iklim atau climate change adalah perubahan jangka panjang dalam pola cuaca rata-rata, baik secara global maupun regional.

Perubahan iklim telah terjadi berkali-kali dalam sejarah Bumi. Namun perubahan suhu global dan pola cuaca yang terlihat saat ini disebabkan oleh aktivitas manusia.

Para ilmuwan menjelaskan, perubahan iklim saat ini terkait dengan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana.

Gas-gas ini efektif menjebak panas dari sinar matahari di dekat permukaan bumi, seperti dinding kaca rumah kaca yang menyimpan panas di dalamnya.

Perubahan kecil dalam gas rumah kaca bisa bertambah hingga perubahan besar dalam skala global.

Rata-rata, efek gas rumah kaca adalah meningkatkan suhu global. Ini sebabnya perubahan iklim kadang-kadang disebut pemanasan global.

Tapi sebagian besar peneliti saat ini lebih menyukai istilah perubahan iklim karena variabilitas cuaca dan iklim di seluruh dunia.

Bagaimana para ilmuwan mengetahuinya?

Ilustrasi proses terjadinya penipisan lapisan ozonshutterstock.com Ilustrasi proses terjadinya penipisan lapisan ozon

Iklim masa lalu dicatat dalam es, sedimen, formasi gua, terumbu karang, dan bahkan cincin pohon.

Para peneliti dapat melihat sinyal kimia untuk menentukan kondisi atmosfer di masa lalu.

Sinyal kimia yang dimaksud seperti karbon dioksida yang terperangkap dalam gelembung di dalam es glasial.

Beberapa benda yang bisa diteliti antara lain:

  • Lingkaran pohon untuk mendapatkan catatan suhu dan kelembaban musim demi musim. Catatan pohon relatif lebih pendek tetapi sangat rinci.
  • Rasio varian kimia oksigen dalam karang, stalaktit, dan stalagmit dapat mengungkapkan pola curah hujan masa lalu.
  • Sedimen laut dapat memberikan gambaran iklim sejak jutaan tahun lalu.
  • Gletser dapat menangkap gas atmosfer dalam bentuk gelombang udara. Gletser menjebak debu, serbuk sari, abu vulkanik, dan banyak lagi.

Selain itu sejak tahun 1970-an saat munculnya teknologi satelit, informasi yang didapat semakin banyak mulai dari tingkat es di kutub, suhu permukaan laut, hingga cakupan awan.

Baca juga: Erupsi Merapi dan Sejarah Letusannya...

Bagaimana iklim berubah?

Fenomena Northen Light yang terjadi dibeberapa daerah beriklim dinginDok. www.traveller.com.au Fenomena Northen Light yang terjadi dibeberapa daerah beriklim dingin

Sebelum Revolusi Industri, ada sekitar 280 molekul karbon dioksida untuk setiap juta molekul di atmosfer, suatu ukuran yang dikenal sebagai bagian per juta (ppm).

Menurut Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA), pada 2018 tingkat rata-rata global CO2 adalah 407,4 ppm. Itu 100 ppm lebih tinggi selama 800.000 tahun terakhir,

Menurut NOAA tingkat perubahan karbon atmosfer saat ini lebih cepat daripada di masa lalu.

Laju peningkatannya adalah 100 kali lebih cepat selama 60 dekade terakhir daripada waktu dalam satu juta tahun terakhir atau lebih.

Menurut Institut Studi Antariksa Goddard NASA (GISS), suhu rata-rata bumi telah meningkat lebih dari 2 derajat Fahrenheit (1 derajat Celsius) sejak 1880.

Selain itu, menurut Observatorium Bumi NASA, lajut kenaikan suhu global juga semakin cepat. Dua per tiga dari pemanasan itu telah terjadi sejak 1975.

Baca juga: Fenomena Topi Awan yang Terjadi Serentak di 4 Gunung, Ada Apa?

Dampak perubahan iklim

Luapan sungai Lamasi merendam 8 desa dan merusak 5 unit rumah di desa Pompengan utara, Kecamatan lamasi Timur, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Jumat (03/04/2020)MUH. AMRAN AMIR Luapan sungai Lamasi merendam 8 desa dan merusak 5 unit rumah di desa Pompengan utara, Kecamatan lamasi Timur, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Jumat (03/04/2020)

Dampaknya terjadi terhadap perubahan ekosistem dan lingkungan Bumi.

Di antara perubahan paling dramatis telah terjadi di Kutub Utara, di mana es laut sedang menurun. Gletser mencair secara global, khususnya di lintang tengah.

Montana's Glacier National Park adalah tempat bagi 150 gletser pada 1850. Saat ini, hanya tersisa 25 buah.

Es yang mencair dan perluasan perairan lautan karena panas telah berkontribusi pada kenaikan permukaan laut.

Menurut NOAA, permukaan laut rata-rata global telah meningkat 8-9 inci (21-24 sentimeter) sejak 1880.

Tingkat kenaikan meningkat, dari 0,06 inci (1,4 milimeter) per tahun di abad ke-20 menjadi 0,14 inci (3,6 mm) per tahun dari 2006-2015.

Air laut menyerap karbon dioksida dari atmosfer, yang menciptakan reaksi kimia yang menyebabkan pengasaman laut.

Peningkatan keasaman lautan membuat karang lebih sulit membangun kerangka karbonatnya.

Perubahan iklim bahkan mempengaruhi waktu cuaca seperti musim semi.

Naiknya permukaan air laut ini berpengaruh langsung pada beberapa kota di dunia yang mulai tenggelam.

Dari sejumlah sumber, selain Jakarta sejumlah kota besar lainnya juga terancam tenggelam yakni Houston, Dhaka, Bangkok, Rotterdam dan Alexandria.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Gempa Bumi Terjang Mentawai, Ratusan Orang Meninggal

Bagaimana menghentikan perubahan iklim?

Foto penampakan Bumi dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Foto yang diambil astronot NASA bernama Jessica Meir itu dikecam oleh penganut teori Bumi datar.TWITTER/Jessica Meir via The Sun Foto penampakan Bumi dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Foto yang diambil astronot NASA bernama Jessica Meir itu dikecam oleh penganut teori Bumi datar.

Mencegah pemanasan di masa depan membutuhkan penghentian emisi gas rumah kaca.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah dari seluruh dunia.

Upaya paling ambisius untuk mencegah pemanasan sejauh ini adalah Perjanjian Paris. Perjanjian internasional yang tidak mengikat ini, mulai berlaku pada November 2016

Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menjaga pemanasan jauh di bawah 2 derajat Celcius dan mengejar upaya untuk membatasi kenaikan suhu lebih jauh hingga 1,5 derajat Celcius.

Setiap penandatangan perjanjian sepakat untuk menetapkan batas emisi sukarela mereka sendiri dan untuk membuatnya lebih ketat dari waktu ke waktu.

 Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pluto Ditemukan, Bagaimana Karakteristiknya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Tren
Saya Bukan Otak

Saya Bukan Otak

Tren
Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Tren
Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Bus Pariwisata Kecelakaan di Kawasan Ciater, Polisi: Ada 2 Korban Jiwa

Tren
8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

8 Misteri di Piramida Agung Giza, Ruang Tersembunyi dan Efek Suara Menakutkan

Tren
Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Tren
Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Tren
7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

Tren
Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU 'Self Service', Bagaimana Solusinya?

Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU "Self Service", Bagaimana Solusinya?

Tren
Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Tren
Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Tren
6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

Tren
BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

Tren
7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com