KOMPAS.com - Baru-baru ini peneliti mulai memerhatikan kenaikan permukaan laut yang signifikan dan menyebabkan beberapa daerah di Asia terendam.
Perubahan iklim membuat sejumlah permukaan di bumi. Salah satunya yakni kecepatan mencairnya es di Kutub Utara.
Hal itu tentu tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang sepela.
Baca juga: Mengapa Indonesia Kerap Dilanda Gempa Bumi?
Dilansir Live Science (12/3/2020), perubahan iklim atau climate change adalah perubahan jangka panjang dalam pola cuaca rata-rata, baik secara global maupun regional.
Perubahan iklim telah terjadi berkali-kali dalam sejarah Bumi. Namun perubahan suhu global dan pola cuaca yang terlihat saat ini disebabkan oleh aktivitas manusia.
Para ilmuwan menjelaskan, perubahan iklim saat ini terkait dengan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana.
Gas-gas ini efektif menjebak panas dari sinar matahari di dekat permukaan bumi, seperti dinding kaca rumah kaca yang menyimpan panas di dalamnya.
Perubahan kecil dalam gas rumah kaca bisa bertambah hingga perubahan besar dalam skala global.
Rata-rata, efek gas rumah kaca adalah meningkatkan suhu global. Ini sebabnya perubahan iklim kadang-kadang disebut pemanasan global.
Tapi sebagian besar peneliti saat ini lebih menyukai istilah perubahan iklim karena variabilitas cuaca dan iklim di seluruh dunia.
Iklim masa lalu dicatat dalam es, sedimen, formasi gua, terumbu karang, dan bahkan cincin pohon.
Para peneliti dapat melihat sinyal kimia untuk menentukan kondisi atmosfer di masa lalu.
Sinyal kimia yang dimaksud seperti karbon dioksida yang terperangkap dalam gelembung di dalam es glasial.
Beberapa benda yang bisa diteliti antara lain:
Selain itu sejak tahun 1970-an saat munculnya teknologi satelit, informasi yang didapat semakin banyak mulai dari tingkat es di kutub, suhu permukaan laut, hingga cakupan awan.
Baca juga: Erupsi Merapi dan Sejarah Letusannya...
Sebelum Revolusi Industri, ada sekitar 280 molekul karbon dioksida untuk setiap juta molekul di atmosfer, suatu ukuran yang dikenal sebagai bagian per juta (ppm).
Menurut Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA), pada 2018 tingkat rata-rata global CO2 adalah 407,4 ppm. Itu 100 ppm lebih tinggi selama 800.000 tahun terakhir,
Menurut NOAA tingkat perubahan karbon atmosfer saat ini lebih cepat daripada di masa lalu.
Laju peningkatannya adalah 100 kali lebih cepat selama 60 dekade terakhir daripada waktu dalam satu juta tahun terakhir atau lebih.
Menurut Institut Studi Antariksa Goddard NASA (GISS), suhu rata-rata bumi telah meningkat lebih dari 2 derajat Fahrenheit (1 derajat Celsius) sejak 1880.
Selain itu, menurut Observatorium Bumi NASA, lajut kenaikan suhu global juga semakin cepat. Dua per tiga dari pemanasan itu telah terjadi sejak 1975.
Baca juga: Fenomena Topi Awan yang Terjadi Serentak di 4 Gunung, Ada Apa?
Dampaknya terjadi terhadap perubahan ekosistem dan lingkungan Bumi.
Di antara perubahan paling dramatis telah terjadi di Kutub Utara, di mana es laut sedang menurun. Gletser mencair secara global, khususnya di lintang tengah.
Montana's Glacier National Park adalah tempat bagi 150 gletser pada 1850. Saat ini, hanya tersisa 25 buah.
Es yang mencair dan perluasan perairan lautan karena panas telah berkontribusi pada kenaikan permukaan laut.
Menurut NOAA, permukaan laut rata-rata global telah meningkat 8-9 inci (21-24 sentimeter) sejak 1880.
Tingkat kenaikan meningkat, dari 0,06 inci (1,4 milimeter) per tahun di abad ke-20 menjadi 0,14 inci (3,6 mm) per tahun dari 2006-2015.
Air laut menyerap karbon dioksida dari atmosfer, yang menciptakan reaksi kimia yang menyebabkan pengasaman laut.
Peningkatan keasaman lautan membuat karang lebih sulit membangun kerangka karbonatnya.
Perubahan iklim bahkan mempengaruhi waktu cuaca seperti musim semi.
Naiknya permukaan air laut ini berpengaruh langsung pada beberapa kota di dunia yang mulai tenggelam.
Dari sejumlah sumber, selain Jakarta sejumlah kota besar lainnya juga terancam tenggelam yakni Houston, Dhaka, Bangkok, Rotterdam dan Alexandria.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Gempa Bumi Terjang Mentawai, Ratusan Orang Meninggal
Mencegah pemanasan di masa depan membutuhkan penghentian emisi gas rumah kaca.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah dari seluruh dunia.
Upaya paling ambisius untuk mencegah pemanasan sejauh ini adalah Perjanjian Paris. Perjanjian internasional yang tidak mengikat ini, mulai berlaku pada November 2016
Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk menjaga pemanasan jauh di bawah 2 derajat Celcius dan mengejar upaya untuk membatasi kenaikan suhu lebih jauh hingga 1,5 derajat Celcius.
Setiap penandatangan perjanjian sepakat untuk menetapkan batas emisi sukarela mereka sendiri dan untuk membuatnya lebih ketat dari waktu ke waktu.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pluto Ditemukan, Bagaimana Karakteristiknya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.