“Sebuah hari tanpa tertawa adalah hari yang tidak berguna . Penderitaanku mungkin menjadi alasan kamu tertawa. Tetapi tertawaku bukan karena penderitaan orang lain.“
Cuplikan kata-kata dari Charlie Chaplin di atas menunjukkan bahwa membaca perilaku tertawa adalah sebuah bentang paradoks yang sangat luas untuk ditafsir dalam perspektif kemanusiaan, khususnya membaca gejala begitu banyak meme di media sosial yang melahirkan tawa di tengah krisis berkait corona.
Meme di media sosial terbaca sangat beragam, baik meme berkait panduan komunikasi, peran partai politik, psikologi ibu-ibu mengajar anak-anak hingga masker.
Sebutlah surat terbuka ibu-ibu yang menertawakan kerepotan mendampingi anak-anaknya belajar di rumah sekaligus renungan dan pujian pada peran guru.
Sebutlah juga meme sejumlah anak muda dengan masker bergambar partai politik untuk mengkritik peran partai politik di situasi sekarang.
Ataupun meme sarkastis, video pendek seorang ibu di tengah kampung sepi diam-diam mengambil celana dalamnya untuk dijadikan masker penutup mulut.
Tertawa telah menjadi sejarah kajian budaya, psikologi, kesehatan hingga filosofi.
Tertawa sering dianggap sebagai katarsis, yakni pembersihan diri ataupun pelepasan dari ketegangan dalam menghadapi krisis, namun juga bisa menjadi sebaliknya, pelepasan untuk kemudian bertindak dan berpikir negatif atau tidak peduli terhadap segala upaya pemecahan masalah krisis.
Harus dicatat, tertawa sering disebut sebagai medium terbesar tanpa membayar untuk mengurangi stres, menumbuhkan imunitas, melancarkan peredaran darah, bahkan mengembangkan keterampilan sosial di tengah krisis untuk menghidupkan kerja pemecahan masalah dengan gembira serta tidak panik.