KOMPAS.com - Tanda pagar atau tagar #GejayanMemanggilLagi masuk daftar trending Twitter Indonesia, Senin (9/3/2020).
Sebelumnya, sekitar September 2019, gerakan Gejayan Memanggil sempat menarik perhatian publik melalui aksi yang menyuarakan penolakan revisi UU KPK.
Kali ini, aspirasi apa yang disuarakan?
Aliansi Rakyat Bergerak (ARB), sebagai penggerak aksi, akan menyuarakan penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai merugikan bagi masyarakat.
Juru Bicara Gejayan Memanggil, Syahdan, menyebutkan, aksi siang ini diikuti oleh sekitar 1.000 orang yang datang dari berbagai kalangan.
"Seribu-an lah kira-kira," ujar Syahdan saat dihubungi Kompas.com, Senin (9/3/2020) siang.
Tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa berbagai kampus di Yogyakarta, aksi ini juga akan diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat yang turut terdampak kebijakan jika RUU Omnibus Law disahkan.
"Organisasi buruh, lembaga, komunitas, dan lain-lain," ujar Syahdan.
Seperti aksi serupa yang pernah digelar sebelumnya, para peserta aksi datang dari 3 titik kumpul yang sudah direncanakan, yakni Bunderan UGM, Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga, dan Taman Pancasila UNY.
Dalam keterangan resmi yang dikirimkan pada Kompas.com, Senin (9/3/2020) siang, Aliansi Rakyat Bergerak menilai RUU ini merampas hak-hak dasar warga negara dan ruang hidup fisik dan/atau nonfisik yang ada di Indonesia.
Hal yang merugikan pekerja di antaranya mengenai diperpanjangnya jam kerja dan lembur, serta penetapan upah minimum yang rendah.
Alasan lain, secara keseluruhan proses pembahasan RUU Omnibus Law ini dinilai sangat tidak transparan karena partisipasi masyarakat.
Selain itu, pembahasan draf RUU dianggap tidak transparan.
Menurut Aliansi, tujuan dan hasil Omnibus Law ini justru menunjukkan kontradiksi yang menimbulkan pertanyaan mengenai keberpihakan pemerintah terhadap rakyat dalam mencari solusi dari masalah yang ada.
Dalam aksi ini, massa akan menyerukan 6 poin tuntutan kepada pemerintah. Pertama, meminta pemerintah membatalkan Omnibus Law.