Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Muncul Rasisme terhadap Etnis Tionghoa setelah Wabah Virus Corona

Kompas.com - 01/02/2020, 20:00 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

Sumber CGTN News

KOMPAS.com - Kecenderungan rasisme mulai terjadi di sejumlah negara pada etnis Tionghoa atau warga China setelah wabah infeksi virus corona merebak sebulan terakhir.

Kini, masyarakat China atau Asia diidentikkan dengan pembawa virus dan potensial untuk menularkannya pada bangsa lain.

Dikutip dari CGTN, seorang netizen asal China mengunggah sebuah foto yang menunjukkan ayahnya tengah berpose di depan mobil yang diberikan oleh si anak sebagai kejutan.

Di kolom komentar terdapat sebuah kalimat yang kurang pantas, intinya ia meminta mereka untuk tetap berada di China sampai persebaran virus benar-benar bisa diatasi.

Selain itu, banyak juga restoran Vietnam yang menuliskan pengumuman "Tidak menerima orang China" di depan tempat mereka berusaha.

Baca juga: Virus Corona, Inggris Tarik Staff Kedubes dari China dan Mulai Karantina 83 Warganya

Beralih ke media sosial, di Twitter Jepang tagar #ChineseDon'tComeToJapan sempat menjadi topik perbincangan paling banyak diunggah.

Yellow Allert

Sementara itu, di Kanada dilaporkan terjadi beberapa kasus perundungan terhadap anak-anak yang berdarah China di sekolah.

Di belahan dunia yang lain, di Perancis. Sebuah koran menampilkan wajah seorang perempuan China di halaman sampul dan membubuhkan "Yellow Allert" di sebelah foto tersebut.

"Yellow Alert" berarti peringatan untuk berhati-hati dan waspada.

University of California menyatakan rasa takut atau phobia yang disebut sebagai xenophobia sebagai reaksi yang normal mengingat krisis kesehatan yang masih terus berlangsung.

Mendapat banyak protes, universitas yang memiliki banyak mahasiswa dari Asia ini kemudian meminta maaf.

Sebagaimana dikutip dari Business Insider, seorang mahasiswa asal Asia yang bersekolah di Arizona State University mengaku takut jika ingin batuk.

Mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya menceritakan pengalamannya yang pernah dipandang oleh semua orang saat ia batuk di dalam kelas.

Ia merasa wabah virus corona sudah melahirkan kesenjangan budaya antara orang-orang Asia dan penduduk asli Amerika di lingkungan kampus.

Baca juga: Orang Tua atau Anak-anak yang Lebih Rentan terhadap Virus Corona?

Walikota Toronto berikan dukungan

Di lain pihak, Walikota Toronto, John Tory menyatakan akan berdiri bersama komunitas masyarakat China melawan stigma yang dilekatkan pada mereka terkait virus corona.

"Kita tidak boleh membiarkan rasa takut menang atas nilai-nilai kita sebagai sebuah kota," katanya.

Kepala Kesehatan Masyarakat Toronto, Eileen de Villa meyakini informasi yang salah tentang virus corona telah menciptakan stigma yang tidak tepat.

"Saya sangat prihatin dan merasa kecewa bahwa ini terjadi. Diskriminasi tidak dapat diterima. Tidak membantu dan justru menyebarkan informasi yang salah, tidak membawa manfaat untuk siapapun," kata dia dalam sebuah kesempatan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Pemkab Sleman Tak Lagi Angkut Sampah Organik Warga, Begini Solusinya

Pemkab Sleman Tak Lagi Angkut Sampah Organik Warga, Begini Solusinya

Tren
Kapan Waktu Terbaik Minum Vitamin?

Kapan Waktu Terbaik Minum Vitamin?

Tren
Daftar Negara yang Mendukung Palestina Jadi Anggota PBB, Ada 9 yang Menolak

Daftar Negara yang Mendukung Palestina Jadi Anggota PBB, Ada 9 yang Menolak

Tren
Mengenal Como 1907, Klub Milik Orang Indonesia yang Sukses Promosi ke Serie A Italia

Mengenal Como 1907, Klub Milik Orang Indonesia yang Sukses Promosi ke Serie A Italia

Tren
Melihat Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Jalur Rawan dan Mitos Tanjakan Emen

Melihat Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Jalur Rawan dan Mitos Tanjakan Emen

Tren
Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Tren
Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni 'Atlantis yang Hilang' di Lepas Pantai Australia

Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni "Atlantis yang Hilang" di Lepas Pantai Australia

Tren
4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

Tren
Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Tren
Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Tren
8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

Tren
2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

Tren
Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com