Terkait awan tersebut, Marufin menjelaskan, awan Cumulonimbus terbentuk dari gabungan awal cumulus (awan rendah yang nampak bergumpal-gumpal) dan awan nimbus (yang tergolong awan tinggi).
Selain itu, menilik fenomena dasar awan Cumulonimbus, ia menyampaikan bahwa fenomena itu umumnya berada pada ketinggian kurang lebih 2.000 meter di atas paras tanah.
Sementara, puncaknya dapat melambung tinggi hingga mencapai kurang lebih 15.000 km mendekati batas lapisan stratosfer.
"Ia terbentuk salah satunya akibat tekanan udara setempat lebih rendah. Di citra satelit sangat khas, karena memiliki suhu puncak awan paling rendah (hingga bisa di bawah 0 derajat celsius) akibat menjulang sangat tinggi," terang Marufin.
Sebelumnya, fenomena kenampakan awan Cumulonimbus pernah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Misalnya, di Aceh Tengah pada Juli 2019 lalu.
Saat itu, adanya awan Cumulonimbus di Aceh Tengah menyebabkan hujan es sebesar kelereng.
Salah satu warga menyebutkan bahwa hujan es terjadi lantaran ada awan Cumulonimbus dengan tinggi dasar awan yang sangat dekat dengan permukaan tanah dan di bawah awan, menyebabkan suhu udara menjadi sangat dingin.
Baca juga: Fenomena Topi Awan yang Terjadi Serentak di 4 Gunung, Ada Apa?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.